• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
🧠 Jiwa, Pikiran, dan Peradaban yang Membeku: Menerobos Keterbatasan lewat Intuisi Cinta

🧠 Jiwa, Pikiran, dan Peradaban yang Membeku: Menerobos Keterbatasan lewat Intuisi Cinta

image_pdfimage_print

Oleh: dr Maximus Mujur, Sp.OG

Di tengah kemajuan zaman dan ledakan informasi, manusia tampaknya mengalami paradoks eksistensial yang mendalam. Di satu sisi, kecanggihan teknologi dan keunggulan ilmu pengetahuan terus dikembangkan demi peningkatan taraf hidup. Namun di sisi lain, relasi kemanusiaan justru mengalami degradasi: relasi menjadi hambar, kasih menjadi asing, dan intuisi sebagai suara terdalam jiwa manusia perlahan dibungkam oleh logika semata. Apakah kita sedang menjadi budak dari ciptaan kita sendiri?

Jiwa dan Pikiran: Siapa Sutradara Sejati?

Pikiran adalah anugerah, namun ia bukan raja. Ia semestinya menjadi pelayan dari sang penguasa sejati dalam diri manusia: jiwa. Jiwa bukan sekadar entitas abstrak; ia mengekspresikan diri melalui kesadaran, intuisi, perasaan, kehendak, dan relasi. Namun manusia modern, yang begitu mengagungkan nalar, sering menjadikan pikiran sebagai satu-satunya ekspresi sah dari keberadaan, lalu menutup diri dari bentuk-bentuk kebijaksanaan lain yang berasal dari dimensi spiritual.

Di sinilah kekeliruan bermula. Ketika hanya pikiran yang dimuliakan, maka intuisi—jalan sunyi tempat Tuhan menyampaikan pesan kasih-Nya—tidak lagi dianggap. Pikiran menjadi dewa, metodologi menjadi kitab suci, dan hasil-hasil kehidupan dikalkulasi secara kaku, padahal hidup bukanlah rumus, melainkan pengalaman rasa.

Ilmu yang Kehilangan Tuhan

Ilmu adalah ciptaan mulia hasil olah pikir manusia yang seharusnya merefleksikan kemuliaan Sang Pencipta. Namun ketika ilmu dipisahkan dari kasih dan kehilangan dimensi transendennya, maka ilmu berubah menjadi senjata. Ia membekukan kepekaan, mengerdilkan cinta, bahkan mengklaim bahwa Tuhan pun tidak nyata karena tak terdeteksi alat ilmiah.

Akibatnya, generasi yang lahir dalam peradaban ilmiah menderita “kekeringan spiritual”. Mereka kehilangan makna, diselimuti kekhawatiran eksistensial, dan tak jarang terjerat mental illness. Manusia menjadi objek dari pikirannya sendiri, lalu hidup dalam dunia hasil pikir yang tidak ia pahami sepenuhnya.

Ketika Ibu Mengabaikan Intuisi Bayi

Salah satu contoh paling konkret dan menyentuh dari pertentangan antara pikiran dan intuisi terjadi dalam pengalaman kehamilan. Seorang ibu, misalnya, secara rasional berpikir bahwa makanan A adalah gizi terbaik bagi bayi. Namun tubuh bayi menolaknya dengan gejala mual bahkan muntah hebat. Di sini, bayi tidak sedang berpikir dalam pengertian logis, tetapi merasakan melalui instrumen jiwa.

Sayangnya, banyak ibu—karena berpikir “anak sekecil itu tahu apa”—mengabaikan suara lembut jiwa bayi. Padahal, jika kita akui bahwa kasih itu tidak terbatas dan cinta adalah ekspresi terdalam dari Tuhan, maka bukankah intuisi bayi adalah bagian dari percakapan spiritual itu sendiri?

Komunikasi Jiwa: Teknologi yang Hilang dari Peradaban

Ironisnya, di era digital di mana alat komunikasi menjamur, manusia justru kehilangan komunikasi yang sesungguhnya. Pasangan duduk berdampingan namun tak saling menyapa; keluarga hadir di satu meja namun masing-masing tenggelam dalam layar. Komunikasi jiwa—yang seharusnya menjadi dasar keterhubungan antarmanusia—telah digantikan oleh sinyal dan emoji.

Padahal makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan, tanpa teknologi, tetap mampu mempertahankan hidup dan berelasi dengan alam. Mereka bertahan hidup melalui intuisi. Mereka tidak membutuhkan dokter hewan untuk tahu mana makanan yang sehat. Mereka tidak mengenal stroke, autisme, atau hipertensi. Namun manusia, makhluk berpikiran tinggi, justru dilanda penyakit akibat gaya hidup yang memisahkan pikiran dari jiwa.

Pikiran: Menteri Penerangan, Bukan Presiden

Pikiran bukanlah presiden yang memutuskan segalanya. Ia seharusnya menjadi menteri penerangan: menerjemahkan maksud-maksud jiwa ke dalam tindakan nyata. Pikiran seharusnya menjelaskan intuisi, bukan membungkamnya; menyinari kasih, bukan menggantikannya. Ketika ini dibalik, ketika pikiran menjadi penguasa tunggal, maka manusia akan membeku—S1, S2, S3 bukan menjadi simbol kebijaksanaan, melainkan gelar-gelar yang mengerdilkan kemanusiaan jika tidak diiringi penerangan jiwa.

Menyatukan Kembali Jiwa dan Pikiran

Saatnya kita mengembalikan relasi alami antara jiwa dan pikiran. Jiwa adalah matahari yang menerangi; pikiran adalah kaca pembesar yang membentuk sinar itu menjadi terang yang terarah. Ketika keduanya menyatu, maka intuisi dan nalar tidak saling menyingkirkan, tetapi saling memperkaya. Pendidikan tidak lagi melulu soal hasil tes, melainkan pendampingan jiwa. Kesehatan tidak hanya diukur dengan laboratorium, tetapi juga keseimbangan batin.

Mulailah dari hal kecil—dari relasi seorang ibu dan bayinya di dalam rahim. Di sanalah komunikasi jiwa pertama kali terjadi, di mana cinta tidak berkata, tetapi terasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *