
๐ธ Ketika Jiwa Menjadi Manajer: Menyambut Kehidupan Sejak dalam Kandungan
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di balik setiap kehidupan yang berdenyut dalam rahim seorang ibu, sesungguhnya sedang terjadi dialog sunyi antara dua jiwa โ jiwa ibu dan jiwa janin. Sebuah komunikasi halus yang tidak memerlukan bahasa, melainkan rasa, intuisi, dan kesadaran. Dalam ruang batin itulah, kehidupan belajar mengenali dirinya.
Jiwa Sebagai Manajer, Pikiran Sebagai Alat
Sejak awal penciptaan, manusia dikaruniai anugerah berupa jiwa โ sumber energi yang menuntun kehidupan. Jiwa bukanlah sekadar perasaan, melainkan pusat kesadaran yang mampu menyeleksi, mengatur, dan menuntun tubuh serta pikiran. Ia adalah manajer kehidupan.
Sayangnya, dalam perjalanan manusia modern, banyak yang terjebak dalam pola berpikir bahwa โpikiran adalah segalanya.โ Padahal pikiran hanyalah alat, bukan penguasa. Jiwa-lah yang seharusnya memimpin pikiran, bukan sebaliknya. Ketika pikiran menguasai jiwa, manusia kehilangan arah โ menjadi objek dari pikirannya sendiri.
Begitu pula dalam kehamilan. Seringkali ibu hanya mendengarkan โpikiranโ yang terbentuk dari ilmu dan budaya, bukan mendengarkan โjiwaโ yang sedang berkomunikasi lewat janin. Padahal, janin membawa kesadarannya sendiri โ sebuah otoritas ilahi yang sudah diberi Tuhan sejak awal kehidupan.
Kehidupan yang Mengalir dari Dalam
Segala sesuatu di alam tunduk pada hukum keseimbangan. Pohon tidak berpikir, tapi tahu kapan harus berbuah. Hewan tidak berteori, tapi tahu kapan harus melindungi anaknya. Mereka hidup dengan bimbingan jiwa. Maka manusia pun, untuk hidup selaras, perlu kembali belajar mendengarkan suara jiwanya sendiri.
Dalam kehamilan, jiwa ibu dan jiwa janin saling berinteraksi dalam irama yang lembut. Janin mengekspresikan dirinya melalui rasa mual, ngidam, atau bahkan reaksi tubuh tertentu. Itu bukan sekadar gejala biologis โ melainkan bahasa jiwa. Sebuah bentuk komunikasi yang menuntun ibu untuk lebih peka terhadap kebutuhan dirinya dan bayinya.
Dari Objek Menjadi Subjek Kehidupan
Manusia terlalu sering menjadi objek โ dari penyakit, dari sistem, bahkan dari pikirannya sendiri. Padahal, sejak dalam kandungan, manusia seharusnya diajarkan untuk menjadi subjek atas dirinya. Seorang ibu yang menyadari dirinya sebagai subjek tidak akan takut terhadap perubahan dalam tubuhnya, karena ia tahu tubuhnya sedang berbicara dengan cara yang suci.
Ketika sakit, misalnya, bukan penyakit yang menguasai manusia, tapi manusialah yang harus menguasai penyakitnya. Bukan dengan penolakan, melainkan dengan kesadaran. Obat bisa membantu tubuh, tetapi โtobatโ โ yaitu kesadaran dan perubahan dari dalam โ menyembuhkan jiwa. Keduanya harus berjalan selaras.
Kembali kepada Harmoni Alam dan Jiwa
Dalam setiap napas kehidupan, ada pelajaran dari alam yang tidak pernah berhenti mengajar. Alam tidak butuh teori, ia hidup dalam keseimbangan yang diciptakan Tuhan. Maka manusia pun, agar kembali selaras, harus mengharmonikan ilmunya dengan kebijaksanaan alam โ dan mendengarkan bimbingan jiwanya sendiri.
Ketika ibu hening sejenak dan mendengarkan hatinya, di sanalah janin berbicara. Ia tidak bicara dengan kata, tapi dengan getaran rasa. Di titik itu, komunikasi jiwa ibu dan jiwa janin terjadi dengan sangat alami โ sebuah komunikasi yang tidak bisa dijelaskan logika, tapi bisa dirasakan dalam kedalaman cinta.
โจ Pesan Penutup
Hidup bukan sekadar tentang berpikir, tapi tentang menyadari. Pikiran memang perlu, tetapi jiwa-lah yang memberi arah. Ketika ibu belajar mendengarkan jiwanya, sesungguhnya ia sedang mendidik jiwa anaknya untuk mengenal dirinya sendiri.
Dan di situlah, kehidupan dimulai โ dari komunikasi antara dua jiwa yang saling memahami dalam diam.

