• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
🌿 Pantun sebagai Cermin Komunikasi Jiwa Ibu dan Janin

🌿 Pantun sebagai Cermin Komunikasi Jiwa Ibu dan Janin

image_pdfimage_print

🖋️ Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

💭 “Pantun tidak berbicara untuk diperdebatkan, melainkan untuk dirasakan. Seperti itulah jiwa ibu berbicara kepada janin: pelan, tersembunyi, tapi menggetarkan.”


Pendahuluan: Ketika Jiwa Berbicara Tanpa Suara

Ada komunikasi yang tidak membutuhkan suara. Ada bahasa yang tidak mengandalkan kata. Ada dialog yang tidak dicatat oleh telinga, tapi dirasakan oleh batin. Di sanalah jiwa bekerja—dan di sanalah ibu dan janin bertemu dalam keheningan yang hangat.

Komunikasi jiwa antara ibu dan janin sering dianggap mitos atau metafora, padahal ia nyata, terasa, dan bisa dikenali. Untuk memahaminya, kita perlu mencari model komunikasi yang mirip: yang sunyi tapi mengandung makna, yang tak memaksa tapi menyentuh. Salah satu cara terbaik untuk memahaminya adalah melalui cara kerja pantun.


Pantun: Bahasa Rasa yang Tak Memaksa

Pantun adalah bentuk sastra yang unik. Ia tidak menjelaskan, tidak menggiring, tidak mendikte. Ia membungkus makna dalam keindahan dan membiarkan pembacanya menyerap sendiri artinya. Inilah yang membuat pantun dekat dengan cara jiwa bekerja: tidak menyerbu, tapi menyusup perlahan. Tidak menyatakan, tapi mengisyaratkan.

Seperti jiwa ibu yang berbicara kepada janinnya: ia tidak memberi instruksi, tapi getaran rasa. Ia tidak menyusun logika, tapi menanamkan suasana batin.


Struktur Pantun dan Pola Dialog Jiwa

Sebuah pantun terdiri atas sampiran dan isi. Sampiran mungkin terdengar ringan, bahkan tidak berhubungan langsung. Tapi ia membuka pintu. Ia mengatur irama. Ia menyiapkan rasa. Lalu isi datang: pendek, padat, dan mengandung makna.

Demikian pula komunikasi jiwa ibu–janin. Ia tidak langsung ke makna. Ia diawali dengan suasana: suasana hati, tubuh, napas, dan sentuhan. Baru setelah itu hadir “isi”—getaran rasa yang ditangkap oleh jiwa janin. Polanya mirip: taktis, berlapis, dan mengandalkan irama batin.

Contoh sederhananya:

Bunga melati harum di pagi
Disiram embun dalam sunyi
Anakku dengarlah detak hati ini
Ada cinta tak henti-henti

Pantun di atas tidak menjelaskan cinta. Ia menunjukkan suasana cinta. Demikian pula jiwa ibu: ia tak berkata “aku mencintaimu,” tapi ia menyampaikan cinta itu lewat tubuh, lewat ketenangan, lewat doa dalam diam.


Jiwa Tidak Membutuhkan Terjemahan

Janin belum bisa memahami kata. Tapi janin bisa menyerap rasa. Inilah yang membuat komunikasi jiwa menjadi mungkin bahkan sejak awal kehamilan. Dan seperti pantun, pesan yang dikirim jiwa ibu tidak memerlukan terjemahan. Ia hanya perlu hadir dalam irama yang tepat: irama napas, irama gerakan, irama batin.

Sama seperti pantun yang perlu “rasa bahasa,” jiwa butuh “rasa kehadiran.” Kehadiran itulah yang membentuk hubungan ibu dan janin. Sebuah hubungan yang tidak dibangun oleh suara, tapi oleh frekuensi rasa yang jernih dan konsisten.


Dari Pantun ke Penyembuhan Emosional

Dalam banyak tradisi, pantun digunakan bukan hanya untuk hiburan, tetapi untuk menyembuhkan. Ia menjadi bentuk komunikasi yang menyentuh dan membebaskan. Demikian pula komunikasi jiwa dengan janin: ia bisa menenangkan, menyembuhkan, bahkan menguatkan perkembangan psiko-emosional janin sejak dini.

Ketika seorang ibu membacakan pantun, atau hanya menulisnya dalam hati, sebenarnya ia sedang menyusun gelombang rasa. Janin menangkap itu. Tubuhnya merekam, jiwanya meresap. Itulah kenapa penting untuk menghidupkan batin ibu selama kehamilan—bukan hanya demi kesehatan dirinya, tapi demi integritas awal kehidupan anaknya kelak.


Penutup: Pantun sebagai Kode Jiwa

Jika ingin belajar bagaimana jiwa berbicara, belajarlah dari pantun. Lihat bagaimana ia tidak terburu-buru. Rasakan bagaimana ia menunggu untuk dipahami. Amati bagaimana ia tidak pernah memaksa, tapi justru karena itu, ia abadi.

Demikian pula jiwa ibu yang menyapa janin: ia tidak menuntut dipahami. Ia hanya ingin hadir sepenuhnya—dan kehadiran itulah yang membentuk dasar cinta pertama yang paling murni dalam kehidupan manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *