
🌿 Parenting Jiwa: Menumbuhkan Kasih Sejak Dalam Kandungan
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di dunia modern, banyak orang tua memahami parenting sebagai keterampilan yang dipelajari setelah anak lahir. Kita membaca buku, meniru metode, bahkan mengikuti pelatihan. Namun, pandangan ini sesungguhnya terbalik. Parenting bukanlah sesuatu yang dimulai setelah anak hadir ke dunia — melainkan telah dimulai sejak jiwa anak memilih hadir dalam rahim ibunya.
💞 Menjadi Orang Tua Adalah Panggilan Alam, Bukan Produk Ilmu
Menjadi orang tua bukanlah profesi hasil pelatihan, melainkan konsekuensi alami dari cinta. Ketika dua insan jatuh cinta dan bersatu, energi kasih itu memanggil jiwa baru untuk hadir — jiwa yang kelak disebut “anak”. Maka, orang tua bukanlah “pengasuh anak ilmu”, melainkan “pengasuh anak Tuhan”.
Ilmu medis membantu kita memahami tubuh, tetapi jiwa anak tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh teori. Jiwa memiliki keunikan, dan hanya dapat disentuh oleh hati yang penuh kasih. Karena itu, setiap kehamilan bukan sekadar proses biologis, melainkan peristiwa suci penuh sukacita. Saat ibu sadar bahwa dirinya sedang mengandung, di saat itulah ia telah menjadi ibu sepenuhnya.
🌸 Cinta Adalah Energi yang Menumbuhkan Janin
Janin tidak hanya menyerap nutrisi fisik dari makanan ibunya, tetapi juga energi dari getaran kasih. Bila seorang ibu makan dengan rasa syukur dan cinta, makanan itu menjadi “makanan bernilai” — sesuai kebutuhan unik sang janin. Sebaliknya, bila dimakan dengan cemas, takut, atau terpaksa, nilai kasihnya hilang, dan janin pun ikut merasakan ketidakseimbangan itu.
Oleh karena itu, energi cinta harus dijaga dan ditumbuhkan. Ia bukan perasaan sesaat, melainkan sumber kehidupan yang hidup dan dinamis. Seperti tanaman yang butuh disiram, cinta pun perlu dirawat setiap hari — lewat doa, senyuman, sentuhan lembut, dan rasa syukur.
🌼 Senyum: Bahasa Cinta yang Pertama
Senyum adalah doa yang paling sederhana dan paling dalam. Ketika seorang ibu tersenyum, energi kasih Tuhan mengalir bersamanya. Janin merasakan kedamaian itu dan belajar mengenal dunia pertamanya: dunia kasih.
Senyum juga menjadi bahasa komunikasi jiwa antara ibu dan anak. Ia menandakan penerimaan, ketenangan, dan kehadiran. Setiap kali ibu tersenyum, ia sedang menegaskan kepada anaknya: “Nak, Ibu di sini. Kamu aman. Kamu dicintai.”
💠 Menghidupi Kasih, Bukan Menyalin Ilmu
Buku-buku parenting memberi banyak panduan, tetapi sering kali kehilangan ruh kasih yang sejati. Ilmu bersifat umum; kasih bersifat unik. Tiap anak membawa keunikan jiwanya sendiri. Karena itu, parenting sejati bukan meniru gaya orang lain, melainkan belajar mendengarkan — kepada tubuh, perasaan, dan suara halus dari dalam rahim.
Orang tua perlu menyadari bahwa anak bukan objek untuk dibentuk, melainkan subjek yang membawa pesan jiwanya sendiri. Ia hadir bukan untuk menjadi seperti orang lain, tetapi untuk menghidupi keunikan dirinya.
🌿 Kecerdasan Hati dalam Parenting
Kehamilan adalah saat terbaik untuk melatih kecerdasan hati. Dalam masa ini, ibu belajar membedakan antara suara pikiran yang penuh kekhawatiran dan suara hati yang penuh kasih. Pikiran bisa bertanya, “Apakah aku cukup mampu?” — tetapi hati menjawab, “Kasihmu sudah cukup.”
Kecerdasan hati menuntun ibu dan ayah untuk memperlakukan anak dengan kesadaran spiritual, bukan sekadar pengetahuan rasional. Karena hati menghidupkan, sementara pikiran hanya mengatur.
💞 Penutup: Kembali ke Sukacita
Setiap keluarga dimulai dari perjumpaan dua hati yang saling jatuh cinta. Maka, perjalanan parenting pun harus dijalani dalam cinta yang sama. Jangan biarkan kecemasan, ketakutan, atau tuntutan dunia mematikan sukacita itu. Sebab buah cinta hanya dapat tumbuh dalam kasih, bukan dalam kekhawatiran.
Parenting sejati bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang hadir dengan senyum dan hati terbuka, mendengarkan suara lembut yang datang dari rahim — suara jiwa yang sedang bertumbuh bersama kasih.

