
“Kita Ini Jiwa, Bukan Sekadar Pikiran”
Renungan Seorang Dokter Kandungan Setelah 30 Tahun Mendampingi Kehidupan Baru
Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Saya sudah lebih dari 30 tahun menjadi dokter kandungan. Saya telah menyaksikan ribuan kelahiran. Setiap tangisan bayi yang pertama, setiap pelukan ibu yang menggetarkan hati, adalah saksi bisu bahwa hidup bukan hanya tentang tubuh atau pikiran—tapi tentang jiwa.
Dalam perjalanan panjang itu, saya makin sadar bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh alat USG, bukan pula oleh jurnal ilmiah. Ada kehadiran yang tak terdefinisi, tapi nyata. Itulah jiwa.
Dan lewat pantun, saya menyuarakan hal yang sering luput dibicarakan oleh dunia medis.
Jiwa Tak Terukur, Tapi Paling Menghidupkan
Jiwa menawarkan ketidakterukuran kasih
Pikiran menghadirkan keterukuran ilmu
Jiwa memberikan sukacita tanpa henti
Pikiran kadangkala tampil penuh buntu
Sebagai dokter, saya percaya ilmu penting. Tapi saya juga tahu, ilmu ada batasnya. Berapa banyak pasien yang secara medis “baik-baik saja”, tapi merasa kosong? Dan sebaliknya, ada pula yang secara klinis “berat”, tapi ia bertahan, karena jiwanya kuat, penuh kasih, penuh makna.
Ilmu bisa menjelaskan organ dan hormon. Tapi cinta seorang ibu pada anak yang belum lahir? Itu di luar logika. Dan di sanalah jiwa bekerja.
Ilmu yang Menggeser Otoritas Jiwa
Tuhan memberikan otoritas pada jiwa
Manusia memberikannya pada pikiran
Otoritas jiwa diingkari kehadirannya
Akibatnya manusia jadi obyek pikiran
Saya menyaksikan ini setiap hari. Banyak pasien yang tidak lagi percaya pada tubuh dan perasaannya sendiri. Mereka lebih percaya pada hasil tes, grafik, angka—padahal tubuhnya sudah bicara. Jiwa mereka sudah berteriak. Tapi kita lebih memilih diam demi “data”.
Jiwa itu bukan hiasan. Ia kompas hidup. Tapi hari ini, otoritasnya dicabut. Kita lebih percaya teori daripada intuisi. Akibatnya? Banyak orang hidup seperti mesin, kehilangan kehangatan batin.
Ilmu Gizi dan Kebijaksanaan Batin
Rasional selalu memperkarakan gizi
Cerdas hati menjunjung tinggi nilai
Rasional sering menempatkan enak di atas sehat
Cerdas hati sebaliknya, spy tetap sehat
Kita begitu disibukkan oleh nutrisi, kalori, tabel makanan. Tapi kita lupa bertanya: apakah ini selaras dengan tubuhku? Apakah ini baik untuk jiwaku?
Saya sering mendampingi ibu hamil yang justru merasa lebih sehat saat mereka mengikuti suara hatinya—bukan sekadar mengikuti anjuran formal. Jiwa tahu mana yang membawa hidup. Tapi sering kali ia dikalahkan oleh ketakutan dan teori.
Alam Lebih Setia daripada Ilmu
Tumbuhan dan hewan taat makanan dari tanah
Manusia banyakan makanan kimia
Tumbuhan dan hewan sehat tanpa obat
Manusia menjadi obyek bisnis obat.
Alam tunduk pada hukum kehidupan. Ia tidak cari shortcut. Tapi manusia, dengan kecerdasannya, menciptakan makanan buatan, obat-obatan instan, dan melupakan kealamian.
Saya tidak menolak obat. Saya pun dokter. Tapi saya menolak ketika manusia berhenti mendengar suara alaminya, dan menyerahkan hidup sepenuhnya kepada sistem yang melihat tubuh sebagai pasar, bukan sebagai ciptaan utuh.
Kita Diciptakan Spesifik, Bukan Standar
Kita berterimakasih dg majunya science
Bijaklah menggunakan kata “make sense”
Tak boleh jadi korban saintifik
Karena kita diciptakan spesifik
Saya percaya science. Tapi saya juga tahu: tidak semua hal yang benar akan “make sense” secara logika. Dalam kebidanan, saya telah menyaksikan mukjizat yang tak bisa dijelaskan oleh teori. Ibu yang tidak mungkin hamil, tapi akhirnya hamil. Janin yang diprediksi gagal tumbuh, tapi lahir dengan sehat.
Manusia itu bukan mesin. Ia unik, spiritual, batiniah. Ilmu yang seragam tak selalu bisa menangkap kedalaman ini. Maka kita perlu bijak: gunakan ilmu, tapi jangan jadi budaknya.
Kita Butuh Sukacinta, Bukan Sekadar Sukacita
Siapa suruh bergabung dg SKK
Semua sukacita semua sukacinta
Saya menulis pantun bukan karena saya penyair, tapi karena saya percaya: jiwa manusia butuh dibangunkan lewat bahasa yang ringan namun dalam. Saya ingin kita semua kembali merasakan: sukacinta, bukan sekadar sukacita. Cinta yang murni, bukan euforia sesaat. Kesehatan sejati bukan hanya soal tubuh yang kuat, tapi juga jiwa yang damai.
Penutup: Kembalikan Otoritas ke Jiwa
Selama tiga dekade saya mendampingi kehidupan baru, saya makin sadar: jiwa adalah pusat manusia. Pikiran dan tubuh mengikuti. Tapi selama ini, yang dikembangkan hanya otak dan otot. Jiwa dibiarkan lapar.
Lewat pantun, saya mencoba menyentuh kembali sisi terdalam kita. Saya ingin mengajak siapa pun yang membaca ini—dokter, pasien, ibu, ayah, pemuda—untuk berhenti sejenak, dan bertanya:
Apakah jiwa saya sudah diakui?
Apakah saya masih hidup selaras dengan diri saya yang terdalam?
Karena pada akhirnya, bukan ijazah atau alat medis yang menyelamatkan kita. Tapi jiwa yang damai dan hadir.
Salam hangat dari saya,
dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dokter Kandungan | Penulis Pantun Jiwa