
“AKU MENJADI SAKSI RIBUAN JIWA KECIL”
Kesaksian Seorang Dokter Kandungan tentang Revolusi Jiwa dalam Kehamilan
Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
I. PENGANTAR: AKU YANG DIUBAH OLEH JIWA-JIWA KECIL
Tiga puluh tahun lalu, aku memulai perjalanan ini sebagai seorang dokter kandungan
dengan satu tujuan: menyelamatkan nyawa ibu dan bayi. Namun dalam perjalanannya,
aku justru diselamatkan oleh mereka—oleh jiwa-jiwa kecil yang belum lahir namun
begitu hidup, oleh ibu-ibu yang mempercayakan rahimnya bukan hanya kepada ilmu,
tetapi kepada cinta.
Aku tidak belajar ini di kampus. Tidak satu pun dosen menjelaskan bagaimana janin bisa
menangis dalam diam, atau bagaimana sentuhan lembut bisa menenangkan jiwa kecil
yang tumbuh dalam kegelapan rahim. Semua itu aku pelajari dari kesaksian—kesaksian
hidup dari puluhan ribu kehamilan yang aku dampingi.
Kehamilan telah menjadi sekolah spiritual bagiku. Setiap janin adalah guru. Setiap ibu
adalah jembatan antara dunia dan langit. Maka izinkan aku bersaksi: kehamilan bukan
proses biologis semata. Ia adalah komunikasi antara dua jiwa yang saling
membentuk—ibu dan anak—dalam bahasa yang tidak dikenal oleh stetoskop, tapi
sangat jelas dalam keheningan.
II. SEJARAH YANG TERPOTONG: KETIKA ILMU MENYANGKAL JIWA
Dahulu, kehamilan dihormati sebagai momen sakral dalam hampir semua budaya. Ibu
hamil adalah pusat semesta. Perempuan yang mengandung dijaga, didengarkan, dan
didampingi oleh komunitas. Ia tidak dimasukkan ke ruang periksa, tapi ke ruang
keheningan. Ia tidak diukur, tapi disapa.Namun, dalam abad-abad terakhir, sesuatu bergeser. Ilmu kedokteran, dengan niat
menyelamatkan, mulai menggantikan keheningan dengan bunyi alat, menggantikan
perasaan dengan angka. Medis modern menciptakan paradigma bahwa yang penting
adalah denyut, bukan getaran jiwa. Maka terjadilah amputasi spiritual: janin dianggap
tubuh yang tumbuh, bukan jiwa yang hadir.
Padahal pengalaman demi pengalaman menunjukkan hal sebaliknya. Ibu tahu saat
anaknya sedang gelisah. Janin menolak suara gaduh. Ibu merasakan cinta atau penolakan
bahkan sebelum kandungan berusia dua bulan. Semua itu bukan khayalan. Itu adalah
bahasa jiwa—bahasa yang hilang dari protokol medis.
III. PENGALAMAN KLINIK YANG MENGUBAHKU
Aku ingin menceritakan beberapa kisah yang selamanya mengubah cara pandangku.
1. Ibu yang Menangis karena Doa Seorang ibu datang padaku. Ia berkata, “Dok, setiap
malam saya bacakan surat Yasin, dan saya merasa bayi saya tenang sekali.” Saat ia sakit
dan tidak bisa membaca doa selama beberapa malam, ia merasakan janinnya menjadi
gelisah dan sering bergerak tidak tenang. Ketika ia pulih dan kembali membacakan doa,
gerakan janin menjadi lembut kembali. Apakah ini kebetulan? Atau komunikasi?
2. Janin yang Menolak Lingkungan Tertentu Ada ibu lain yang merasa tidak nyaman
pergi ke pusat perbelanjaan. Ia berkata, “Setiap saya masuk tempat ramai, saya mual dan
kepala pusing.” Tapi ini bukan morning sickness. Setiap ia kembali ke tempat sunyi,
tubuhnya terasa damai. Ia berkata, “Sepertinya anak saya tidak suka keramaian.” Dan
setelah lahir, benar saja: anak itu tumbuh sebagai pribadi yang tenang, tertutup, dan
senang menyendiri.
3. Janin yang Mengingatkan Ayah Seorang ayah yang kerap abai tiba-tiba bermimpi
anaknya berbicara, “Ayah, jangan marah-marah ke ibu, aku takut.” Ia menceritakan
mimpi itu padaku dengan air mata. Sejak saat itu, ia mulai menyapa perut istrinya setiap
pagi dan malam. Dan sang janin mulai aktif bergerak saat ayah menyentuh.Kisah-kisah ini terlalu banyak untuk diabaikan. Mereka adalah bukti bahwa janin adalah
jiwa hidup yang sadar, yang merasakan, dan yang mengajar.
IV. REVOLUSI PARADIGMA: MENGGANTIKAN KONTROL DENGAN
KEHADIRAN
Dunia medis hidup dalam paradigma kontrol: tekanan darah harus sekian, detak janin
sekian, posisi plasenta harus begini. Tapi jiwa tidak bisa dikontrol—ia hanya bisa
dihadiri. Revolusi terbesar yang dibutuhkan dalam dunia kandungan bukan alat yang
lebih canggih, tapi kesadaran baru.
Dokter tidak cukup hanya terampil, ia harus hadir. Klinik tidak cukup hanya lengkap alat,
ia harus menyediakan ruang hening. Ibu tidak cukup diberi vitamin, ia perlu dituntun
untuk mendengar jiwa bayinya.
Kita butuh sistem baru: – Setiap kontrol bukan hanya tempat cek fisik, tapi juga
dialog batin. – Ada buku harian ibu-janin sebagai ruang refleksi. – Setiap bidan dan
dokter diajari mendengar rasa, bukan hanya gejala.
V. IMPLEMENTASI PRAKTIS: RITUAL DAN KLINIK YANG TERHUBUNG
Dalam praktikku, aku mulai menyusun langkah-langkah konkret:
1. Trimester Pertama: Kesadaran Jiwa
o Ibu menuliskan apa yang ia rasakan pertama kali saat tahu ia hamil.
o Ayah diminta menulis surat pada janin.
2. Trimester Kedua: Aktivasi Pancaindra
o Ibu merekam hal-hal yang dilihat, dicium, didengar.
o Disarankan ritual menyapa janin dengan lagu atau cerita.
3. Trimester Ketiga: Persiapan Spiritual
o Refleksi surat cinta kepada janin.o Doa bersama keluarga kecil menyambut kelahiran.
Dan hasilnya luar biasa: ibu lebih tenang, ayah lebih terlibat, janin lebih aktif, dan
persalinan lebih penuh rasa syukur.
VI. PENUTUP: PANGGILAN UNTUK SEMUA PENJAGA KEHIDUPAN
Aku percaya, dokter kandungan adalah penjaga dua kehidupan: tubuh dan jiwa.
Bukan hanya menyelamatkan dari perdarahan, tapi juga menjaga agar cinta tetap
mengalir dari ibu ke anak.
Kepada para tenaga medis: jangan ragu membuka ruang sunyi dalam praktikmu. Jangan
takut mengajukan pertanyaan seperti, “Apa kata hatimu tentang anakmu?” Pertanyaan
itu lebih menyelamatkan dari sekadar tekanan darah.
Kepada para ibu: percayalah, janinmu bukan hanya tubuh yang tumbuh. Ia adalah jiwa
yang sedang memanggilmu untuk kembali ke dirimu sendiri.
Dan kepada dunia: mari kita kembalikan kehamilan ke tempat suci yang layak. Bukan
sebagai proyek klinis, tapi sebagai ziarah cinta antara dua jiwa yang sedang belajar
menjadi manusia.