
Tubuh yang Bersih, Jiwa yang Jernih: Dari Autofagi ke Penyerahan Diri
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di zaman modern, manusia hidup dalam banjir makanan dan informasi. Tubuh dijejali oleh zat yang tak selalu dibutuhkan, dan jiwa dibanjiri oleh emosi serta ambisi yang mengaburkan makna hidup sejati. Dalam keheningan reflektif, tampak bahwa kesehatan manusia sejati bukan hanya perkara tubuh yang bugar, tapi juga jiwa yang damai dan hati yang berserah.
Di sinilah keempat hal ini terhubung erat: autofagi, racun tubuh, racun jiwa, dan penyerahan diri kepada Allah.
Autofagi: Ketika Tubuh Membersihkan Dirinya
Autofagi, secara harfiah berarti “makan diri sendiri”, adalah proses biologis alami di mana sel-sel tubuh mendaur ulang bagian yang rusak atau tidak berfungsi. Ini bukan kehancuran, melainkan pembersihan. Proses ini sangat aktif ketika tubuh tidak disibukkan dengan proses pencernaan—misalnya saat puasa.
Tubuh manusia sejatinya memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya sendiri, namun kemampuan itu hanya bekerja saat diberi ruang. Puasa, istirahat cukup, dan aktivitas fisik ringan memberi sinyal bahwa sudah waktunya untuk “membersihkan rumah”.
Racun Tubuh: Apa yang Kita Masukkan, Kita Hidupi
Namun, kemampuan tubuh untuk menyembuhkan akan lumpuh jika terus-menerus dibebani makanan yang beracun—gula berlebih, makanan ultra-olahan, lemak trans, dan bahan kimia aditif. Makanan bukan hanya sekadar kalori; ia membawa informasi ke dalam tubuh.
Setiap gigitan membawa pesan: apakah ini makanan yang menghidupkan atau menghancurkan?
Ketika kita mengabaikan kebutuhan tubuh demi kenikmatan sesaat, kita menghambat proses alami yang Tuhan tanamkan dalam tubuh kita sendiri. Racun fisik yang terus-menerus masuk akan membuat sistem metabolisme kacau dan merusak kesehatan jangka panjang. Tubuh pun berteriak lewat kelelahan, penyakit, dan kehilangan vitalitas.
Racun Jiwa: Ketika Hati Menjadi Sarang Luka
Tetapi manusia bukan hanya tubuh. Jiwa yang penuh racun pun bisa membuat tubuh sakit. Amarah yang dipendam, dendam yang tak kunjung reda, kecemasan tanpa ujung, iri yang menyesakkan—semuanya meracuni batin. Ilmu kedokteran modern telah menunjukkan bagaimana emosi negatif meningkatkan hormon stres seperti kortisol, yang dalam jangka panjang merusak sistem imun, jantung, dan bahkan otak.
Racun jiwa tidak kasat mata, tapi dampaknya nyata. Ia membuat manusia kehilangan arah, membenarkan tindakan-tindakan egois, dan perlahan-lahan memutuskan hubungan dengan sesama dan Pencipta.
Jika racun tubuh masuk lewat mulut, maka racun jiwa masuk lewat pikiran dan hati yang tak dijaga.
Penyerahan Diri: Melepaskan yang Merusak, Menerima yang Menyembuhkan
Puncak dari seluruh proses pembersihan, baik fisik maupun batin, adalah penyerahan diri kepada Allah. Ini bukan bentuk kelemahan, tapi kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup dari kekuatan dirinya sendiri. Penyerahan diri bukanlah pasrah buta, tetapi kesediaan untuk ditata ulang oleh Kasih yang Lebih Besar.
Ketika seseorang mulai menyerahkan hidupnya, ia melepaskan kontrol palsu dan mulai mempercayakan tubuh, pikiran, dan jiwanya kepada rancangan ilahi. Dalam keadaan ini, tubuh yang bersih dan jiwa yang tenang menjadi saluran yang bening bagi rahmat Tuhan.
Kesimpulan: Keselamatan Dimulai dari Kesadaran
Autofagi mengajarkan kita bahwa tubuh punya cara untuk memperbaiki dirinya sendiri—asal kita memberi ruang. Menghindari racun tubuh adalah bentuk kasih terhadap karunia fisik yang diberikan. Membersihkan jiwa dari racun emosi adalah upaya untuk hidup lebih otentik. Dan menyerahkan diri kepada Allah adalah bentuk tertinggi dari pembersihan dan pemurnian hidup.
Manusia adalah makhluk yang utuh. Saat tubuh, jiwa, dan roh berada dalam keharmonisan, maka hidup menjadi ruang perjumpaan antara yang fana dan yang ilahi. Di situlah, dalam tubuh yang bersih dan jiwa yang jernih, Allah hadir—diam-diam, tapi nyata.