• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Manusia: Jiwa yang Bertubuh, Bukan Sekadar Mesin yang Hidup

Manusia: Jiwa yang Bertubuh, Bukan Sekadar Mesin yang Hidup

image_pdfimage_print

Oleh: dr. Maximus Mujur, SpOG

Di tengah derasnya arus sains mekanistik dan filsafat dualistik yang telah berabad-abad menguasai cara manusia memahami dirinya, kini muncul kebutuhan untuk menata ulang pemahaman mendasar tentang manusia. Sebab, terlalu lama manusia direduksi menjadi sekadar tubuh yang dipenuhi keinginan—dipisahkan dari jiwanya, dijauhkan dari rohnya, dan diceraikan dari makna hakikinya. Maka sudah waktunya kita melahirkan revolusi konseptual dan peradaban jiwa baru, bukan hanya demi ilmu pengetahuan, tetapi demi keselamatan umat manusia.

Paradigma yang Retak: Jiwa dan Tubuh Bukan Entitas Terpisah

Dalam percakapan sehari-hari, kita sering bicara seolah tubuh dan jiwa adalah dua hal yang berbeda. Seakan tubuh hanyalah wadah, dan jiwa sekadar penumpang. Padahal, seperti yang dikatakan dalam refleksi transkrip ini: “Manusia itu kodratnya adalah jiwa dan badan. Bukan jiwa di dalam badan. Bukan badan yang memiliki jiwa. Tapi satu kesatuan.”

Pemahaman ini membongkar akar dari kekacauan modern: pemujaan pada tubuh, penyerahan total pada rasio, dan pengingkaran pada roh. Sejak zaman Yunani kuno hingga era sains kontemporer, manusia dipaksa hidup dalam kerangka dualisme: antara daging dan roh, antara tubuh dan pikiran, antara rasio dan iman. Akibatnya, manusia terpecah dalam dirinya sendiri—dan akhirnya terjerat dalam penderitaan yang ia ciptakan sendiri.

Jiwa dan Tubuh: Dua Muka dari Satu Keping Keberadaan

Sama seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan, jiwa dan tubuh saling menghidupi. Jiwa bukan hanya penggerak badan, tetapi juga pengarah hidup. Ia memberi makna pada rasa lapar, takut, rindu, hingga cinta. Namun jiwa pun tak akan bisa menari tanpa tubuh. Tubuh adalah instrumen jiwa—sebagaimana dawai bagi gitar, atau kanvas bagi pelukis.

Namun di atas semua itu, ada yang menginspirasi keduanya: Roh.

Roh bukan bagian dari manusia. Roh adalah pemberi kehidupan, inspirasi ilahi yang menyalakan gerak jiwa dan tubuh dalam kasih. Di sinilah letak beda mendasar antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Jiwa vegetatif tumbuhan, jiwa sensitif hewan, semua memiliki pola gerak tertentu. Tapi manusia memiliki roh—yang menghubungkannya dengan Yang Mahatinggi. Dalam bahasa iman, ini adalah Roh Allah. Dalam bahasa universal, ini adalah daya spiritual transenden yang menghadirkan cinta, pengampunan, dan kesucian.

Dari Pikiran ke Kasih: Peradaban yang Salah Arah

Kesalahan besar peradaban kita adalah memindahkan pusat kendali manusia dari roh dan jiwa ke pikiran. Pikiran, meski penting, bukan sumber kehidupan. Ia hanya alat. Ketika alat menjadi tuan, manusia kehilangan arah. Pikiran yang seharusnya menjadi pelayan kasih, malah menjadi alat kuasa, manipulasi, bahkan eksploitasi.

Inilah sebabnya, peradaban modern yang sarat teknologi malah melahirkan manusia-manusia terasing, gelisah, dan hampa makna. Jiwa-jiwa mereka terluka, tubuh mereka lelah, dan relasi mereka kering. Mereka hidup dalam dunia yang “pintar tapi tak bijak”, “mahir tapi tak penuh kasih”.

Pendidikan Jiwa Sejak dalam Kandungan: Sebuah Revolusi Cinta

Dari sinilah kita harus memulai revolusi. Tidak dari perguruan tinggi. Tidak dari lembaga negara. Tetapi dari rahim ibu.

Kehamilan adalah ruang suci tempat roh, jiwa, dan tubuh berjumpa. Di dalam kandungan, anak manusia bukan hanya tumbuh secara biologis, tetapi dirawat secara spiritual. Ia mendengarkan getaran kasih, mengenal kehadiran ayah dan ibu, dan merasakan suasana batin rumah tangga bahkan sebelum lahir. Maka mendidik anak harus dimulai sejak ia menjadi janin.

Ketika kehamilan diperlakukan sebagai momen medis semata, maka kita kehilangan kesempatan emas: membentuk manusia seutuhnya. Justru ketika seorang ibu berbicara dengan janinnya, mendoakan dan mencintainya, ia sedang menanam benih kesadaran terdalam. Kesadaran itu lebih kuat daripada teori pendidikan mana pun.

Dan sungguh benar: anak manusia bukan datang dari ilmu, tetapi ilmu datang dari manusia.

Iman dan Cinta sebagai Dasar Hidup

Iman bukan sekadar konsep teologis, tetapi cara hidup yang mengakui adanya ketidakterbatasan. Iman adalah pengakuan bahwa hidup lebih dari yang bisa diukur. Maka, pendidikan sejati dimulai dari iman, bukan dari logika. Dari cinta, bukan dari instruksi.

Sebagaimana seorang anak lahir bukan karena dua orang berpikir, tetapi karena mereka jatuh cinta, maka kehidupan hanya bisa dibangun dalam cinta. Dan cinta adalah kerja roh.

Seks bukanlah urusan mekanik antara dua tubuh. Ia adalah perjumpaan antara dua jiwa dalam roh kasih. Maka hanya cinta sejati yang bisa menghadirkan manusia seutuhnya. Di luar itu, hubungan hanya menjadi ruang pemuasan nafsu, tanpa makna, tanpa kehidupan.

Dari Teori ke Transformasi: Hidup yang Kudus sebagai Tujuan

Percakapan dalam transkrip ini tidak hanya menyentuh filsafat tinggi atau spiritualitas mendalam. Ia adalah kesaksian hidup yang mengalami transformasi nyata. Dari cara berpikir lama yang mekanistik, rasionalistik, dan kaku, ke cara hidup baru yang lembut, mengalir, dan penuh kasih.

Ini bukan sekadar revolusi ide. Ini adalah revolusi karakter.

Orang-orang yang mengalami hal ini bukan hanya berubah dalam pemahaman, tetapi juga dalam sikap, dalam kasih, dalam seluruh dirinya. Dan pada akhirnya, hidup mereka menjadi kesaksian kudus—karena disucikan oleh pengalaman itu sendiri.

Mereka tidak lagi berbicara tentang Tuhan sebagai ide, tetapi sebagai realitas yang dialami dalam keheningan doa, dalam komunikasi dengan janin, dalam kesetiaan pada cinta, dan dalam perjuangan merawat jiwa manusia sejak dalam kandungan.


Penutup: Menuju Peradaban Jiwa

Kita telah cukup lama hidup dalam peradaban pikiran. Kini saatnya membangun peradaban jiwa. Peradaban yang tidak mengagungkan statistik, melainkan kasih. Yang tidak memuja rasio, tetapi merayakan intuisi. Yang tidak menyekat antara iman dan ilmu, tetapi memadukannya dalam harmoni.

Dan semua itu dimulai dari sebuah keputusan kecil: untuk melihat janin sebagai subjek jiwa, bukan objek medis. Untuk memperlakukan tubuh sebagai rumah kasih, bukan alat konsumsi. Dan untuk menjadikan roh sebagai pemandu hidup, bukan sekadar mitos dalam doa.

Karena pada akhirnya, manusia adalah jiwa yang bertubuh. Dan cinta adalah satu-satunya jalan pulang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *