
Pola Makan Bernilai dan Bergizi: Mendengarkan Kebutuhan Jiwa dalam Kehamilan
Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Pengantar dari Ruang Praktek Selama 30 Tahun
Setelah lebih dari tiga dekade menemani para ibu menjalani masa kehamilan, saya menyaksikan sendiri bahwa kehamilan bukan sekadar peristiwa biologis. Ia adalah perjalanan batin, relasi dua jiwa, dan ladang komunikasi yang sangat halus antara ibu dan anak yang belum lahir.
Dari ribuan ibu yang saya temui, satu hal yang terus membekas adalah pertanyaan batin mereka: “Mengapa saya tetap mual padahal sudah makan makanan sehat?” Atau, “Mengapa tubuh saya menolak makanan yang katanya paling bergizi untuk ibu hamil?”
Dari pengalaman-pengalaman ini, saya belajar satu hal penting: tidak semua makanan bergizi itu bernilai bagi ibu dan janin. Dan di sinilah letak perbedaannya yang selama ini sering luput dari perhatian medis.
Bergizi Itu Penting, Tapi Belum Tentu Bernilai
Secara medis, kami terbiasa menyarankan ibu hamil untuk mengonsumsi makanan tinggi protein, zat besi, asam folat, dan vitamin lainnya. Dan itu memang penting. Tapi selama 30 tahun praktik, saya menyaksikan bahwa tubuh dan jiwa ibu memiliki bahasa sendiri yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan rumus atau tabel nutrisi.
Ada ibu yang muntah setiap kali makan ikan laut yang kaya omega-3. Ada yang tidak tahan melihat sayuran hijau, padahal itu sumber asam folat terbaik. Kami cari-cari penyebab secara medis: infeksi? gangguan lambung? alergi? Tapi hasilnya nihil.
Belakangan saya memahami bahwa reaksi tubuh itu bisa jadi bentuk penolakan jiwa. Bukan hanya karena makanannya tidak cocok, tetapi karena suasana hati ibu, konteks emosional saat makan, bahkan relasi dengan suami atau keluarganya saat itu. Maka saya mulai bertanya pada pasien saya bukan hanya: “Apa yang Anda makan?”, tetapi juga: “Bagaimana perasaan Anda saat memakannya?”
Makanan Bernilai: Ketika Jiwa dan Pikiran Selaras
Makanan yang bernilai adalah makanan yang tidak hanya memberi zat gizi, tapi juga diterima oleh hati dengan damai. Ia adalah hasil dari kesadaran ibu: mengenal dirinya, mengenal anak yang dikandungnya, dan mendengarkan sinyal halus dari dalam. Dan di sinilah kita perlu sadar bahwa makanan bernilai tidak sama untuk semua orang. Nilainya sangat bergantung pada keunikan tiap ibu, kondisi jiwanya, riwayat hidupnya, bahkan nilai-nilai yang ia pegang. Satu ibu mungkin merasa damai makan nasi hangat dan sayur bening, sementara yang lain hanya bisa menerima buah segar atau bubur sederhana. Tidak ada resep universal. Justru di situlah letak kehormatan terbesar ibu pada dirinya: menghormati keunikan tubuh dan jiwanya sendiri. Karena dengan mengenali keunikan itu, ibu belajar mendengar bayinya dengan lebih peka.
Saya pernah mendampingi seorang ibu yang menangis saat memakan buah favoritnya. Bukan karena rasa, tetapi karena setiap suapan mengingatkannya pada ibunya yang sudah tiada. Ia makan bukan dengan rasa syukur, tetapi dengan beban emosi. Janinnya pun ikut bereaksi: mual tak kunjung reda. Setelah kami bantu memproses emosinya, gejala itu menghilang tanpa obat.
Dari situlah saya makin yakin: jiwa ibu adalah pintu masuk utama bagi makanan bernilai. Dan janin adalah mitra dialog yang sangat peka terhadap semua itu.
Janin yang Mendengar, Merasakan, dan Merespons
Sebagai dokter kandungan, saya terbiasa memantau detak jantung janin lewat alat. Tapi seiring waktu, saya belajar memantau lewat “getaran” yang tidak tampak di layar monitor: lewat respons mual, muntah, atau bahkan perasaan tidak nyaman yang mendadak muncul tanpa sebab medis.
Janin bukan hanya tubuh yang tumbuh. Ia adalah jiwa yang hidup, yang bisa menolak makanan yang tak bernilai, bahkan bila makanan itu penuh gizi menurut ilmu manusia.
Saya percaya, banyak ibu merasakan ini tapi tidak tahu harus bicara ke siapa. Maka sebagai dokter, saya merasa tugas saya bukan hanya meresepkan suplemen, tetapi juga mengajak ibu masuk ke percakapan batin dengan dirinya sendiri dan bayinya.
Menghidupkan Kesadaran dalam Setiap Suapan
Saya mengajak para ibu untuk kembali sederhana: dengarkan tubuh Anda, dengarkan hati Anda.
Tanyakan sebelum makan:
- Apakah makanan ini membuat saya damai?
- Apakah janin saya menerimanya dengan sukacita?
- Apakah ini membuat tubuh saya ringan dan hati saya tenang?
Jika jawabannya ya, itu bukan sekadar makanan bergizi. Itu makanan bernilai—yang menyatukan tubuh dan jiwa ibu, serta menyambut jiwa anak dalam cinta dan keseimbangan.
Penutup: Menjadi Ibu yang Sadar, Bukan Sekadar Taat
Kehamilan bukan hanya tentang mematuhi daftar pantangan atau mengonsumsi makanan superfood. Ia adalah perjalanan mendengarkan—suara tubuh, bisikan jiwa, dan tanggapan janin.
Sebagai dokter kandungan, saya percaya bahwa peran kami bukan hanya mengobati, tetapi juga menemani para ibu kembali mendengarkan dirinya sendiri. Karena ketika ibu menyuapi dengan cinta dan kesadaran, ia sedang menumbuhkan manusia seutuhnya: sehat raganya, kuat jiwanya.
Makanan bergizi penting, tetapi makanan yang bernilai adalah kunci kehidupan. Ia menyembuhkan, menguatkan, dan menghidupkan bukan hanya ibu, tapi seluruh dunia kecil yang sedang tumbuh di dalamnya.

