• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Jiwa: Penggerak Sejati Kehidupan, Bukan Sekadar Objek Pikiran

Jiwa: Penggerak Sejati Kehidupan, Bukan Sekadar Objek Pikiran

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Selama ini, pembicaraan tentang jiwa sering kali dilekatkan erat dengan ranah agama. Banyak orang menganggap bahwa jiwa adalah domain eksklusif keyakinan tertentu, seolah-olah seseorang yang tidak beragama otomatis tidak memiliki jiwa. Padahal, keberadaan jiwa adalah realitas yang melampaui batas-batas institusi keagamaan. Jiwa adalah inti kehidupan—penggerak tubuh, pengarah perasaan, dan sumber kesadaran—yang sudah ada dalam setiap manusia, apa pun latar belakangnya.

Jiwa Bukan Embodied Soul

Pemahaman umum sering menempatkan jiwa sebagai sesuatu yang “terbungkus” dalam tubuh (embodied soul), tetapi sesungguhnya manusia adalah ENSOUL-BODIED—jiwa yang memiliki tubuh. Tubuh hanyalah wadah, sedangkan jiwa adalah energi kehidupan yang menggerakkan segala fungsi tubuh. Saat jiwa pergi, otak berhenti, tubuh mati, dan semua aktivitas terhenti.

Kesalahan cara pandang modern adalah memisahkan tubuh dan jiwa, bahkan di dunia kedokteran tubuh diurai menjadi bidang-bidang terpisah, melupakan keutuhan manusia sebagai makhluk hidup yang utuh.

Pikiran Bukan Penguasa

Kita hidup di zaman yang terlalu mengagungkan pikiran. Ilmu pengetahuan dan teknologi mengajarkan kita untuk berpikir terus-menerus, tetapi sering mengabaikan perasaan. Pikiran hanyalah salah satu bagian dari manusia—seperti prosesor pada komputer—yang membutuhkan arus untuk berfungsi. Arus itu adalah jiwa.

Pikiran dapat menjelaskan perasaan, tetapi tidak pernah mengalami perasaan. Ia mendeskripsikan realitas, bukan mengalaminya. Tanpa jiwa, pikiran hanyalah mesin tanpa makna.

Teknologi: Cermin dari Kerja Pikiran

Teknologi modern bekerja dengan prinsip yang diambil dari cara kerja pikiran manusia: pemrosesan informasi, logika, dan eksekusi. Namun, teknologi tidak memiliki perasaan, intuisi, atau kesadaran. Ia hanya berjalan ketika ada “arus” dari luar. Begitu pula pikiran kita: tanpa arus kasih, kesadaran, dan kemauan yang berasal dari jiwa, ia akan kering dan mati.

Kembali Menjadi Sutradara Kehidupan

Kesalahan besar manusia modern adalah menjadi objek dari pikirannya sendiri. Kita menyerahkan arah hidup kepada pikiran, jadwal, dan teknologi, tetapi melupakan untuk memberi makan jiwa. Kita memberi makan tubuh tiga kali sehari, tetapi jarang memberi nutrisi pada jiwa—seperti kasih, rasa syukur, keheningan, dan hubungan mendalam dengan sesama.

Makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan, tetap hidup selaras dengan “suara jiwa” mereka. Seekor anjing, misalnya, dapat memilih makan sesuai kebutuhannya tanpa habis-habisan mengonsumsi makanan yang tersedia. Sementara manusia, dengan segala logikanya, justru sering mengabaikan kebutuhan sejatinya.

Jiwa, Bukan Dogma

Nilai-nilai seperti kasih, kesabaran, kelembutan, dan kemurahan hati sering dibicarakan di agama. Namun, ketika agama terjebak pada dogma, nilai-nilai itu dipandang sebagai perintah eksternal, bukan sifat alami yang telah Tuhan tanamkan dalam jiwa manusia. Padahal, mengikuti gerakan jiwa sejatinya adalah juga mengikuti kehendak Tuhan.

Menjadikan Jiwa sebagai Pengarah Hidup

Jiwa berbicara melalui pancaindra, intuisi, dan perasaan. Ia memberi isyarat kapan kita perlu berhenti, bergerak, atau berubah. Tugas kita adalah menjadi sadar, menghidupi jiwa itu, dan membiarkannya menjadi sutradara kehidupan. Pikiran tetap penting, tetapi ia hanyalah alat, bukan penguasa.

Di tengah arus besar teknologi dan rasionalitas, manusia perlu kembali ke kesadaran bahwa ia adalah jiwa yang memiliki tubuh, bukan tubuh yang kebetulan punya jiwa. Karena pada akhirnya, yang membuat kita hidup bukanlah pikiran—melainkan jiwa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *