• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Bahasa Sunyi Janin: Pertarungan Intuisi Ibu dan Konstruksi Sosial dalam Rahim

Bahasa Sunyi Janin: Pertarungan Intuisi Ibu dan Konstruksi Sosial dalam Rahim

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Pendahuluan

Kehamilan bukan hanya proses biologis yang diatur oleh mekanisme medis. Di balik perubahan tubuh seorang ibu, terdapat sebuah ruang komunikasi halus yang sering terabaikan: bahasa jiwa antara janin dan ibu. Bahasa ini tidak selalu hadir dalam bentuk kata-kata, melainkan melalui intuisi, perasaan, bahkan rangsangan pancaindra yang sulit dijelaskan oleh logika ilmiah.

Namun, dalam perjalanan itu, ibu tidak berada di ruang hampa. Sejak kecil ia sudah dibentuk oleh konstruksi sosial—pendidikan, keluarga, medis, dan budaya—yang mengajarkan bahwa rasionalitas dan pikiran harus lebih diutamakan daripada intuisi dan perasaan. Di sinilah pertarungan sunyi terjadi: janin menyampaikan kebutuhannya lewat intuisi ibu, sementara lingkungan mendorong ibu untuk percaya pada logika yang sudah mapan.

Mekanisme Komunikasi Jiwa

Dialog antara janin dan ibu berlangsung 24 jam sehari. Janin mengirimkan stimulus—rasa mual, pusing, keinginan makan sesuatu, atau perasaan hangat yang sulit dijelaskan. Ibu yang peka akan menangkap pesan ini sebagai kebutuhan janin, bukan sekadar keinginannya sendiri.

Sayangnya, banyak ibu lebih dulu mendengar “suara luar”: nasihat medis, pengalaman ibu lain, atau dogma keluarga. Ketika intuisi itu ditekan, janin sering memperkuat pesannya—dengan mual yang lebih parah, pusing yang lebih kuat, atau kegelisahan yang sulit ditenangkan. Inilah bukti bahwa komunikasi jiwa lebih dulu datang dari janin, bukan dari ibu.

Tegangan dengan Konstruksi Sosial

Masalah muncul ketika bahasa jiwa ini berhadapan dengan konstruksi sosial yang telah mengakar. Pendidikan modern dan medis mengajarkan bahwa sesuatu dianggap benar bila bisa diuji secara objektif dan berlaku umum. Sementara komunikasi jiwa bersifat personal, unik, dan tidak bisa digeneralisasi.

Akibatnya, banyak ibu merasa ragu untuk mempercayai intuisinya sendiri. Bahkan tenaga medis kadang menafsirkan gejala janin berdasarkan “pola umum”, padahal setiap janin memiliki cara komunikasi yang berbeda. Di sinilah medan pertempuran itu tercipta—rahim ibu menjadi arena tarik-menarik antara suara batin janin dan suara luar yang dibentuk oleh sains dan budaya.

Jalan Menuju Kesadaran Baru

Artikel ini tidak bermaksud menolak peran sains. Justru, sains dibutuhkan untuk menjamin keselamatan ibu dan bayi. Namun, penting untuk menyadari bahwa komunikasi jiwa adalah fakta yang nyata dan harus diakui sebagai bagian dari kehamilan.

Dengan kesadaran ini, tenaga medis, keluarga, dan ibu sendiri bisa mengurangi konflik batin. Kehamilan tidak lagi dipandang sebagai “medan perang”, melainkan sebagai ruang kasih, intuisi, dan relasi yang saling melengkapi antara janin dan ibu.

Penutup

Pertarungan sunyi dalam rahim bukanlah tentang siapa yang benar—sains atau intuisi—tetapi tentang bagaimana kita mengakui adanya dua kutub yang hidup berdampingan. Janin selalu lebih dulu mengungkapkan kebutuhannya melalui jiwa ibu. Tugas kita adalah mendengarkan, bukan sekadar menafsirkan. Dengan demikian, kehamilan menjadi perjalanan spiritual sekaligus biologis, di mana janin dan ibu berjalan bersama dalam irama kehidupan yang dituntun oleh kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *