• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Mengapa Sains Takut pada Jiwa: Sebuah Kritik atas Keangkuhan Pengetahuan Modern

Mengapa Sains Takut pada Jiwa: Sebuah Kritik atas Keangkuhan Pengetahuan Modern

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Pendahuluan

Manusia modern hidup di tengah kemajuan sains yang menakjubkan.
Teknologi mampu menembus angkasa, memetakan gen, bahkan memprediksi cuaca dan penyakit.
Namun di tengah keberlimpahan pengetahuan itu, muncul paradoks besar: jiwa manusia justru semakin kehilangan arah.
Sains berbicara seolah mengetahui segalanya tentang kehidupan, tetapi diam seribu bahasa ketika ditanya tentang makna hidup itu sendiri.
Mengapa demikian? Karena sejak awal, sains memilih menjauh dari wilayah jiwa.


1. Sains Lahir dari Keinginan Menguasai, Bukan Memahami

Sains modern lahir dari semangat abad pencerahan di Barat—sebuah era yang ingin membebaskan manusia dari dogma agama dan takhayul.
Dalam upaya itu, manusia mulai memisahkan antara yang bisa diukur (materi) dan yang tak bisa diukur (jiwa, roh, makna).
Pendekatan ini berhasil membuat pengetahuan menjadi sistematis dan praktis, tetapi juga menimbulkan konsekuensi besar: jiwa manusia dikeluarkan dari percakapan ilmiah.

Sejak itu, kehidupan tidak lagi dipandang sebagai misteri yang harus disapa dengan hormat,
melainkan sebagai sistem yang harus dikendalikan dan dipecahkan secara teknis.
Manusia menjadi penguasa alam, bukan lagi bagian dari harmoni semesta.


2. Sains Hanya Mengakui yang Bisa Dibuktikan

Prinsip utama sains adalah verifikasi: sesuatu dianggap benar jika bisa diamati, diulang, dan dijelaskan secara sebab-akibat.
Namun jiwa tidak tunduk pada hukum itu.
Kesadaran, intuisi, cinta, dan rasa syukur—semuanya nyata, tetapi tidak bisa direplikasi dalam laboratorium.

Akibatnya, sains memilih diam.
Jiwa dianggap “subjektif”, tidak ilmiah, padahal justru yang subjektif itulah inti kemanusiaan.
Sains mampu mengukur gelombang otak orang yang sedang jatuh cinta,
tapi tidak pernah bisa menjelaskan mengapa cinta membuat manusia rela berkorban.


3. Sains Takut pada Wilayah yang Tak Bisa Dikendalikan

Sains tumbuh dari logika kontrol: “Jika A maka B.”
Namun hukum jiwa tidak tunduk pada logika itu.
Dalam kehidupan batin, satu doa dapat mengubah keadaan yang tak terduga, satu maaf dapat menyembuhkan luka yang tak kasatmata.
Bagi sains, itu berbahaya—karena misteri tidak bisa diprediksi atau dipatenkan.

Oleh sebab itu, wilayah jiwa sering dipinggirkan sebagai “emosi” atau “psikologi”, bukan realitas spiritual.
Padahal di sanalah seluruh arah hidup manusia bermula: di getaran rasa, bukan rumus.

Sains bisa menjelaskan cara kerja otak,
tapi tidak pernah tahu dari mana datangnya kesadaran yang mengamati otak itu.


4. Sains Bicara Tentang Kehidupan, Tapi Tidak Tentang Kehidupan yang Bermakna

Dalam paradigma ilmiah, hidup hanyalah rangkaian proses biologis:
sel membelah, organ tumbuh, sistem bekerja.
Namun kehidupan yang sejati adalah perjalanan kesadaran—siapa aku, untuk apa aku hidup, dan ke mana aku kembali.

Karena sains hanya sibuk menjelaskan bagaimana, ia lupa menanyakan mengapa.
Akibatnya, manusia modern menjadi pintar tapi kehilangan arah,
sehat fisiknya namun gelisah jiwanya, kaya teknologinya tapi miskin maknanya.

Sains membuat manusia hidup lebih lama,
tapi tidak selalu membuat manusia ingin hidup lebih lama.


5. Sains Lupa Bahwa Ia Sendiri Lahir dari Jiwa

Ironisnya, semua penemuan besar dalam sejarah lahir bukan dari rumus, tapi dari intuisi dan keheningan batin.
Archimedes menemukan prinsip terapung bukan di laboratorium, tapi saat merenung di bak mandi.
Einstein menyebut teorinya bukan hasil logika, melainkan intuisi yang datang tiba-tiba.
Itu artinya: sains pun sebenarnya anak dari jiwa yang kreatif.
Namun begitu lahir, anak itu sering melupakan ibunya.


6. Kelemahan Sains Modern: Kering dari Rasa dan Arah

Inilah titik rapuh sains modern.
Ia hebat dalam menjelaskan mekanisme kehidupan, tetapi gagal menjelaskan makna kehidupan.
Ia bisa membuat mesin yang meniru emosi, tapi tidak bisa menciptakan kasih.
Ia bisa memetakan DNA manusia, tapi tidak tahu dari mana asal panggilan moral yang membuat manusia ingin berbuat baik.
Ketika sains kehilangan kesadaran jiwa, pengetahuan berubah menjadi kekuasaan.
Dan dari situlah lahir krisis ekologis, perang teknologi, dan kekosongan batin manusia modern.


7. Jalan Pulang: Menyatukan Sains dan Jiwa

Sains tidak perlu ditolak.
Ia tetap penting sebagai alat memahami dunia fisik.
Namun sains harus kembali berlutut di hadapan misteri jiwa—menyadari bahwa ada wilayah yang hanya bisa dimengerti lewat cinta, doa, keheningan, dan intuisi.
Ketika sains bersatu dengan jiwa, maka pengetahuan akan berubah menjadi kebijaksanaan.
Teknologi tidak lagi merusak, tetapi menyembuhkan; penelitian tidak lagi sombong, tetapi rendah hati.

Saat itu, kehidupan tidak lagi sekadar hidup,
tetapi menjadi perjalanan sadar antara roh dan materi.


Penutup

Sains tidak salah, hanya belum lengkap.
Ia melihat tubuh dan pikir, tapi belum memahami roh yang menghidupinya.
Karena itu, kehidupan modern harus berani menatap ke dalam—menyapa jiwa yang selama ini dibungkam oleh kebisingan laboratorium.
Sebab yang menuntun kehidupan bukan teori, bukan data, bukan mesin,
melainkan jiwa yang tahu arah pulang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *