• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
JIWA SEBAGAI SUBYEK DARI PIKIRAN: SEBUAH RENUNGAN DALAM CAHAYA DELEUZE

JIWA SEBAGAI SUBYEK DARI PIKIRAN: SEBUAH RENUNGAN DALAM CAHAYA DELEUZE

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp. OG

Dalam peradaban modern yang dituntun oleh logika dan teknologi, manusia kerap menilai dirinya berdasarkan kemampuan berpikir dan menguasai. Pikiran menjadi pusat, logika menjadi ukuran, dan kesadaran spiritual perlahan dipinggirkan. Namun di balik kecemerlangan rasio itu, ada sesuatu yang lebih dalam — JIWA, sumber kehidupan yang tak bisa direduksi menjadi sekadar aktivitas otak.

Di titik inilah kita menemukan kembali pertanyaan mendasar:
Apakah manusia sekadar produk dari pikiran, ataukah ia subyek yang melampaui pikirannya sendiri?


Jiwa sebagai Gerak, Bukan Bentuk

Filsuf Perancis Gilles Deleuze menolak pandangan bahwa manusia memiliki identitas yang tetap, final, dan bisa dirumuskan secara tunggal.
Bagi Deleuze, kehidupan adalah proses yang terus menjadi (becoming) — bukan sesuatu yang selesai, melainkan selalu bergerak, bertransformasi, berhubungan, dan mencipta.

Dalam kerangka ini, jiwa bukanlah benda statis, tetapi arus hidup yang terus mencipta bentuk-bentuk baru dari pengalaman.
Ia bukan sekadar “isi” tubuh atau kesadaran pasif, melainkan kekuatan kreatif yang membuat manusia terus melampaui dirinya. Pikiran hanyalah salah satu ekspresi dari gerak jiwa itu. Maka, jiwa mendahului pikiran, bukan sebaliknya.

Pikiran mencoba mengkategorikan, membatasi, dan menamai dunia.
Sedangkan jiwa, dalam semangat Deleuzian, menolak segala bentuk penutupan. Ia menembus batas, menyeberang dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Jiwa tidak berpikir dalam konsep, tetapi dalam arus pengalaman yang hidup, dalam intensitas yang mengalir, sebagaimana Deleuze menulis dalam Difference and Repetition bahwa realitas bukanlah kumpulan identitas, melainkan jaringan perbedaan yang terus bergerak.


Dari Pikiran yang Menguasai ke Pikiran yang Mengabdi

Ketika manusia meletakkan pikirannya di atas segalanya, ia sesungguhnya telah menjadi tawanan ciptaannya sendiri. Pikiran, yang semula adalah alat untuk memahami kehidupan, kini menjadi penguasa yang menindas kehidupan itu sendiri.
Deleuze melihat bahaya ini: logika representasi — keinginan untuk menamai, membingkai, dan menjelaskan segala sesuatu — membuat kehidupan kehilangan spontanitasnya.

Dalam konteks spiritual, hal ini berarti jiwa kehilangan kebebasan ekspresinya.
Manusia menjadi obyek dari pikirannya sendiri: ia berpikir bukan untuk hidup, tetapi hidup untuk berpikir; ia berilmu, tetapi kehilangan makna.

Kebijaksanaan sejati menuntut pembalikan arah:

Pikiran harus kembali menjadi alat dari jiwa — bukan sebaliknya.

Dalam bahasa Deleuze, inilah bentuk “pembebasan dari struktur representasi”.
Manusia perlu membuka kembali ruang bagi intensitas hidup, bagi pengalaman yang tak selalu dapat dirumuskan secara rasional — ruang di mana jiwa dapat mengalir, menari, dan mengekspresikan keunikannya tanpa terkurung oleh kategori logika.


Jiwa dan Tubuh Tanpa Organ: Ruang Kebebasan Spiritual

Salah satu gagasan radikal Deleuze yang menarik untuk dikaitkan dengan refleksi ini adalah konsep “body without organs” (tubuh tanpa organ).
Istilah ini bukan tentang meniadakan tubuh fisik, melainkan tentang melepaskan diri dari struktur yang membatasi potensi kehidupan. Organ di sini melambangkan sistem, peran, dan pola pikir yang membuat manusia berhenti menjadi.

Dalam spiritualitas, tubuh tanpa organ dapat dimaknai sebagai jiwa yang bebas dari penjara pikiran dan ego.
Ketika seseorang menempatkan jiwanya sebagai pusat kesadaran, ia membiarkan dirinya hidup secara utuh — tidak lagi dikendalikan oleh pola pikir mekanis atau logika sosial.
Ia menjadi manusia yang “mengalir bersama kehidupan”, bukan yang berusaha menguasai kehidupan.

Di sinilah, ajakan untuk “meletakkan kitab suci di atas buku teks, di atas kepala, di atas otak” memperoleh makna baru.
Itu bukan sekadar simbol religius, tetapi juga pembebasan epistemologis: ajakan agar kita tidak tunduk pada sistem berpikir yang membatasi, melainkan menempatkan kesadaran jiwa — yang terbuka terhadap misteri — di atas struktur logika yang kaku.


Spiritualitas sebagai Gerak Menjadi

Bagi Deleuze, kehidupan sejati tidak pernah berhenti pada satu bentuk. Ia selalu becoming — selalu berproses.
Spiritualitas pun demikian. Ia bukan sistem kepercayaan yang tertutup, melainkan perjalanan yang terus bergerak menuju kedalaman makna.
Setiap pengalaman, setiap rasa, setiap perjumpaan, adalah bagian dari proses penciptaan diri yang tak berkesudahan.

Jiwa, dalam arti ini, adalah ruang terbuka bagi perbedaan, bagi perubahan, dan bagi kehidupan itu sendiri.
Ia tidak menolak pikiran, tetapi menempatkannya dalam tarian yang dinamis — di mana logika dan cinta, pengetahuan dan iman, bekerja bersama dalam harmoni kreatif.
Pikiran yang hidup dari jiwa bukan lagi instrumen dominasi, melainkan saluran bagi kebijaksanaan yang menghidupkan.


Penutup: Menjadi Manusia yang Mengalir

Deleuze mengajak kita untuk tidak berhenti menjadi, untuk terus membuka diri terhadap kehidupan yang sedang berlangsung.
Gagasan ini sejalan dengan pandangan bahwa jiwa adalah subyek dari pikiran — karena hanya jiwa yang mampu menanggung dan memaknai proses “menjadi” itu sendiri.

Ketika jiwa memimpin, pikiran menjadi jernih.
Ketika iman menuntun, ilmu menjadi terang.
Ketika manusia hidup dari pusat jiwanya, ia tidak lagi menjadi obyek dari pikirannya, melainkan penulis dari keberadaannya sendiri.

Maka, biarlah kita terus belajar menata urutan yang benar:
jiwa di depan, pikiran mengikuti.
Sebab hanya dengan demikian, manusia dapat berpikir dengan cinta, berteknologi dengan nurani, dan hidup dengan kebijaksanaan yang menghidupkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *