
🌿 Manusia di Ambang Sunyi: Kembali kepada Jiwa yang Hidup
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di era ketika segalanya bisa diukur, dihitung, dan diprediksi, manusia justru kehilangan sesuatu yang paling berharga—jiwanya sendiri. Kita hidup di zaman di mana pikiran dipuja, sains diagungkan, dan logika dijadikan tuhan. Namun di balik segala kemajuan itu, dunia batin manusia perlahan sunyi.
Hari ini, banyak orang tahu cara “hidup sehat”, tetapi sedikit yang tahu bagaimana hidup dengan jiwa yang sehat. Banyak yang bicara tentang pencapaian, tetapi sedikit yang bertanya: “Masihkah aku hidup sebagai manusia seutuhnya?”
1. Jiwa Sebagai Penggerak Kehidupan
Sejak mula, manusia bukan hanya tubuh yang berfungsi, tetapi jiwa yang hidup di dalam tubuh. Jiwa adalah pengatur, penggerak, dan penentu arah kehidupan. Tubuh hanyalah instrumen bagi jiwa untuk mengalami dunia. Ketika seorang ibu mengandung, sesungguhnya dua jiwa sedang berdialog—jiwa ibu dan jiwa anak—melalui perasaan, intuisi, dan pancaindra.
Namun manusia modern cenderung menyingkirkan pengalaman jiwa. Kehamilan, misalnya, direduksi menjadi urusan medis dan nutrisi. Padahal, di balik setiap detak jantung janin, ada ekspresi jiwa yang ingin didengar. Jiwa tidak berteriak lewat kata, ia berbisik lewat rasa. Dan hanya hati yang hening yang dapat mendengarnya.
2. Arogansi Pikiran dan Sains
Pikiran adalah alat luar biasa yang diberikan Tuhan agar manusia dapat memahami dunia. Tapi ketika alat ini diangkat menjadi tuan, muncullah arogansi. Sains—sebagai produk pikiran—sering menempatkan dirinya sebagai satu-satunya cara untuk memahami realitas. Yang tidak dapat dijelaskan dianggap tidak ada. Yang tak dapat diukur dianggap tidak penting.
Dari sinilah tragedi modern bermula. Sains menjelaskan hampir segalanya, tetapi gagal menjawab kerinduan terdalam manusia: makna, kasih, dan kehadiran. Ironisnya, semakin banyak kita tahu tentang dunia, semakin sedikit kita mengenal diri sendiri. Kita menjadi makhluk rasional yang kehilangan rasa.
Sains seharusnya melayani kehidupan, bukan menggantikannya. Ia semestinya bekerja di bawah terang kasih, bukan menyingkirkannya.
3. Kehilangan Suara Hati
Ketika pikiran menjadi raja, suara hati kehilangan takhta. Padahal suara hati adalah “organ ilahi” dalam diri manusia—sumber kebijaksanaan batin yang menuntun dengan lembut, bukan memerintah dengan logika. Ia adalah ruang kecil tempat Tuhan berbisik.
Kini, moralitas manusia ditentukan oleh sistem, bukan oleh hati nurani. Manusia tidak lagi tahu apa yang baik tanpa aturan dari luar dirinya. Bahkan dalam dunia spiritual, banyak yang mengenal Tuhan hanya lewat ritual, bukan lewat suara hati yang hidup.
Kehidupan tanpa suara hati menjadikan manusia seperti mesin yang efisien tapi kosong. Hati yang diam adalah tanda peradaban yang kehilangan arah.
4. Krisis Identitas dan Keterasingan Manusia Modern
Di kantor, kita manajer. Di rumah, kita masih membawa mental manajer. Dunia kerja dan peran sosial menciptakan identitas buatan yang melekat terlalu kuat, hingga manusia lupa bagaimana menjadi dirinya sendiri. Kita mahir menukar peran profesional, tapi gagal menjadi pribadi yang utuh.
Orang lebih mengenal rekan kerja daripada keluarganya sendiri. Hubungan dalam rumah menjadi mekanis, tanpa percakapan jiwa. Teknologi memperpendek jarak fisik, tapi memperlebar jarak batin. Kita saling dekat di layar, namun saling jauh dalam hati.
Keterasingan modern bukan karena kesepian, tetapi karena kehilangan keintiman jiwa.
Kita hidup bersama, tetapi tidak saling hadir.
5. Pemulihan Martabat dan Peradaban Kasih
Dunia tidak memerlukan lebih banyak pengetahuan, tetapi lebih banyak kesadaran. Martabat manusia tidak ditentukan oleh kecerdasan intelektual, tetapi oleh kemampuan mencintai dan mendengarkan jiwa—jiwa sendiri, jiwa orang lain, dan jiwa alam.
Peradaban yang sejati bukan yang paling maju teknologinya, tetapi yang paling menghormati kehidupan. Bukan yang paling cepat menemukan, tetapi yang paling dalam mendengarkan.
Jiwa tidak membutuhkan revolusi besar, hanya kembalinya kesadaran bahwa kasih adalah inti dari keberadaan manusia. Ketika kasih diembodikan dalam tubuh, pikiran, dan tindakan, maka lahirlah manusia baru: bukan karya sains, tetapi karya kasih.
🌸 Penutup
Manusia tidak perlu menjadi makhluk sempurna, cukup menjadi makhluk yang sadar—bahwa di balik pikiran, ada jiwa yang rindu didengar. Bahwa dalam setiap tubuh, ada cahaya yang ingin dihidupi. Dan bahwa di tengah kebisingan dunia modern, masih ada ruang sunyi di mana kasih ingin berdiam.
Karena sesungguhnya, peradaban akan pulih ketika manusia kembali mendengarkan jiwanya sendiri.

