• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Janin sebagai Individu dalam Relasi: Integrasi Teologi, Budaya, dan Medis dalam Penghargaan terhadap Kehidupan

Janin sebagai Individu dalam Relasi: Integrasi Teologi, Budaya, dan Medis dalam Penghargaan terhadap Kehidupan

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Pendahuluan

Kehidupan manusia tidak dimulai ketika seseorang lahir, melainkan ketika keberadaan itu mulai berdenyut dalam rahim. Di titik itu, kehidupan sudah hadir sebagai misteri yang memadukan unsur biologis, spiritual, dan kultural. Namun dalam praktik nyata, baik dalam dunia teologi, budaya, maupun medis, pengakuan terhadap janin sebagai individu yang memiliki kehendak bebas dan otonomi relasional belum sepenuhnya dihayati.

Tulisan ini menegaskan perlunya pola relasi baru yang menyatukan ketiga dimensi tersebut — teologi, budaya, dan medis — untuk membangun kesadaran kolektif bahwa janin adalah pribadi yang hidup, unik, dan memiliki martabat Ilahi (Imago Dei) yang harus dihormati dalam setiap bentuk relasi manusia.


I. Teologi: Janin sebagai Citra Allah (Imago Dei)

1. Hakikat Teologis Keberadaan Janin

Dalam teologi Kristen, manusia dipahami sebagai “Imago Dei” — citra Allah yang tercipta bukan dari tubuh semata, tetapi dari keseluruhan diri: tubuh, jiwa, dan roh yang berelasi. Sejak konsepsi, janin sudah memiliki kodrat spiritual yang berasal dari Allah. Ia bukan potensi manusia, tetapi manusia yang sedang bertumbuh, dengan keunikan yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar sel biologis.

Teologi tubuh menegaskan bahwa tubuh manusia adalah bahasa kasih Allah. Dalam konteks kehamilan, tubuh ibu menjadi medium inkarnasi, ruang kasih yang memungkinkan karya penciptaan berlanjut. Dengan demikian, rahim adalah locus teologikus — tempat teologi menjadi hidup, tempat sabda menjadi daging.

2. Relasi Ibu dan Janin sebagai Relasi Cinta Ilahi

Relasi ibu dan janin menggambarkan pola relasi Allah dengan manusia: kasih yang memberi ruang, yang mendengarkan, dan yang memelihara. Janin berkomunikasi melalui tubuh ibu; ia mengekspresikan kebutuhannya lewat gerakan, rasa, dan intuisi yang halus. Ibu, pada gilirannya, merespons dengan doa, kasih sayang, dan perlindungan.
Dalam dinamika ini, keduanya saling menghidupi misteri inkarnasi — kasih yang menjadi tubuh dan tubuh yang menampung kasih.

3. Kehendak Bebas dan Personhood

Teologi menegaskan bahwa kehendak bebas adalah anugerah Ilahi yang melekat pada setiap pribadi manusia. Janin, sebagai pribadi dalam proses menjadi, memiliki bentuk awal dari kehendak ini — kehendak untuk hidup, tumbuh, dan mengekspresikan diri.
Dengan demikian, janin bukan objek rahim, tetapi subjek relasi yang memiliki hak untuk didengarkan dan dihormati.


II. Budaya: Pengakuan Spiritual terhadap Janin dalam Kearifan Nusantara

1. Budaya sebagai Cermin Relasi Hidup

Kebudayaan Indonesia, dalam keanekaragamannya, telah lama mengakui kehadiran janin sebagai bagian dari komunitas manusia yang utuh. Setiap suku memiliki tradisi untuk menyambut, merawat, dan merayakan kehidupan dalam kandungan sebagai tanda penghormatan terhadap karya Ilahi.

Budaya tidak hanya mengatur perilaku sosial, tetapi juga mengungkapkan cara suatu masyarakat memahami kehidupan.

2. Tradisi-­tradisi yang Menghargai Janin

  • Jawa – Upacara Mitoni (Tujuh Bulanan):
    Dilaksanakan untuk merayakan keselamatan ibu dan anak, serta mengakui bahwa janin sudah hadir sebagai bagian keluarga dan masyarakat. Doa dan simbol air melambangkan pemurnian dan penerimaan kehidupan baru.
  • Bali – Megedong-Gedongan:
    Tradisi spiritual untuk menghormati roh kehidupan yang telah turun ke dunia. Janin dianggap telah memiliki atma (jiwa), sehingga keluarga menyambutnya dengan persembahan dan doa.
  • Batak – Pemberian Nama Awal:
    Janin sering disebut dengan sapaan khusus (misalnya boru ni inang atau anak ni marga), tanda pengakuan bahwa ia sudah memiliki identitas dan tempat dalam garis keturunan.
  • Timor dan Flores – Larangan dan Perlindungan Ibu Hamil:
    Ibu hamil dijaga dalam pantangan tertentu agar tidak melukai “tamu dalam tubuh”, yang diyakini membawa pesan dari dunia spiritual.

Tradisi-tradisi ini memperlihatkan bahwa budaya Nusantara mengenali janin sebagai subjek relasional — bukan benda pasif, melainkan jiwa yang harus diterima dengan hormat.

3. Tantangan Modernisasi

Sayangnya, modernisasi telah melemahkan makna spiritual tradisi tersebut. Ritual sering menjadi formalitas sosial tanpa kesadaran teologis dan relasional. Nilai penghormatan terhadap janin kini perlu dihidupkan kembali bukan sebagai romantisme budaya, melainkan sebagai kearifan etis dan spiritual yang relevan dengan dunia medis dan teologi.


III. Medis: Janin sebagai Pasien dan Individu dengan Kehendak Sendiri

1. Paradigma Bioetik

Dunia medis modern mengakui prinsip autonomy — bahwa setiap pasien memiliki hak untuk menentukan tindakan medis yang menyangkut dirinya. Jika prinsip ini dipegang teguh untuk pasien dewasa, maka janin pun harus dilihat sebagai pasien dengan hak yang sama untuk dihormati.

Janin bukan sekadar bagian dari tubuh ibu, tetapi pasien ganda: individu yang memiliki kebutuhan sendiri namun terhubung secara biologis dengan ibunya. Oleh karena itu, pendekatan medis yang etis harus memperhatikan dua subjek relasional — ibu dan janin — yang saling memengaruhi.

2. Kehendak Hidup dan Komunikasi Biologis

Ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa janin merespons lingkungan emosional dan fisik ibunya. Detak jantung, gerakan, bahkan ekspresi genetik dapat berubah akibat interaksi tersebut. Dalam kerangka teologis dan kultural, respons-respons ini adalah bahasa tubuh jiwa yang sedang tumbuh — ekspresi kehendak bebas untuk hidup.

3. Kekosongan Implementasi Relasional

Namun, dalam praktik klinis, janin masih sering diperlakukan sebagai objek pemeriksaan, bukan subjek dialog. Medis modern jarang mengintegrasikan dimensi spiritual atau relasional dalam perawatan prenatal, bahkan di lembaga-lembaga keagamaan.
Padahal, pendekatan medis yang berakar pada iman dapat menjadi jembatan antara sains dan spiritualitas, di mana teknologi digunakan bukan hanya untuk mengontrol kehidupan, tetapi merayakan dan melindunginya.


IV. Integrasi Tiga Dimensi: Menuju Kesadaran Kolektif

Ketiga perspektif — teologi, budaya, dan medis — sebenarnya saling melengkapi:

AspekFokus RelasionalTantangan Saat IniPotensi Sinergi
TeologiMelihat janin sebagai Imago Dei dan pribadi berkehendak bebasMasih bersifat doktrinal, belum pastoralMenghidupkan iman melalui pendampingan kehamilan
BudayaMenghormati janin sebagai anggota komunitasTradisi kehilangan makna spiritualRevitalisasi nilai budaya untuk pendidikan kehidupan
MedisMengakui janin sebagai pasien dengan hak dan kebutuhan unikReduksionisme biologisPendekatan bioetik relasional dan spiritual care

Integrasi ketiganya melahirkan paradigma baru: “Relasionalitas sebagai dasar keberadaan manusia.”
Dalam paradigma ini, manusia (termasuk janin) tidak diakui karena status ontologisnya semata, tetapi karena ia hidup dalam dan melalui relasi.


Penutup: Menuju Perayaan Kehidupan Sejak Awal

Janin adalah pribadi dalam proses menjadi — citra Allah yang unik, memiliki kehendak bebas, dan membawa panggilannya sendiri. Budaya Nusantara telah lama merayakan kehadirannya; teologi menegaskan martabatnya; dan ilmu kedokteran memiliki sarana untuk merawatnya.

Namun, tanpa kesadaran relasional yang hidup, semua itu hanya akan menjadi status formal tanpa jiwa. Gereja, tenaga medis, dan komunitas budaya dipanggil untuk membangun relasi yang memanusiakan sejak rahim — relasi yang mendengarkan, memberi ruang, dan menghargai kehendak bebas kehidupan yang tumbuh di dalamnya.

Jika hewan dan tumbuhan tidak pernah keliru menjadi dirinya sendiri, manusia — citra Allah — semestinya diberi kebebasan dan dukungan untuk menjadi dirinya sejak awal keberadaannya.
Itulah panggilan iman, budaya, dan ilmu: menjadi pelindung kehidupan yang lahir dari kasih, tumbuh dalam relasi, dan hidup dalam kebebasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *