
Janin sebagai Citra Allah: Imago Dei yang Hidup dan Berkehendak dalam Rahim
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam terang iman dan teologi tubuh yang diperluas, ada sebuah kesadaran baru yang lembut namun revolusioner: janin bukan hanya calon manusia, melainkan citra Allah yang hidup — Imago Dei yang telah hadir sejak konsepsi. Di dalam dirinya, bahkan dalam ukuran mikroskopis dan keheningan rahim, tersimpan misteri besar: kehidupan yang sadar, yang tumbuh, dan yang berkehendak menurut rancangan kasih Allah sendiri.
1. Ciptaan yang Baik dan Unik Sejak Awal
Kitab Kejadian menegaskan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah” (Kej. 1:27). Pernyataan ini tidak memiliki syarat usia, kesadaran, atau kemampuan berpikir. Artinya, sejak konsepsi — sejak kehidupan itu mulai berdenyut — citra Allah sudah tertanam dan aktif bekerja di dalam dirinya.
Janin bukan sekadar hasil proses biologis, melainkan manifestasi awal dari kebaikan Allah yang menjadi daging. Ia unik, tak tergantikan, dan tidak dapat direduksi menjadi kumpulan sel. Ia adalah misteri pribadi yang sedang diukir oleh tangan Pencipta melalui tubuh dan kasih seorang ibu.
Dengan demikian, kehidupan dalam rahim bukan “proyek biologi”, melainkan ikon rohani — refleksi kecil dari wajah Allah yang terus mencipta di tengah keheningan tubuh manusia.
2. Kehendak Bebas sebagai Ekspresi Spiritual
Sering kali kita membayangkan kehendak bebas sebagai kemampuan memilih secara sadar antara baik dan jahat. Namun, dalam konteks prenatal, kehendak bebas bukanlah keputusan rasional, melainkan dorongan batiniah untuk hidup, tumbuh, dan mengekspresikan diri sesuai rancangan Allah.
Janin memiliki cara khas untuk menanggapi dunia: menendang ketika merasa bahagia, diam ketika mendengar doa, atau bergerak lembut ketika merasakan kasih sang ibu. Semua ini adalah bahasa spiritual dari kebebasan batin yang murni — bukan kebebasan yang menolak, tetapi kebebasan yang merespons kasih.
Kebebasan dalam rahim bukanlah kebebasan memilih jalan sendiri, melainkan kebebasan untuk menjadi diri sendiri di hadapan kasih yang menerima. Inilah bentuk paling awal dari free will yang suci — kehendak untuk hidup, untuk terhubung, dan untuk menanggapi cinta.
3. Rahim sebagai Ruang Kebebasan Ilahi
Rahim, dalam perspektif teologis, bukan ruang yang mengekang, melainkan ruang kebebasan ilahi yang diciptakan untuk pertumbuhan pribadi. Di sana, janin belajar mengenal kasih, keamanan, dan harmoni melalui tubuh ibunya. Ia menyerap getaran dunia luar, doa-doa lembut, dan bahkan gelombang emosional yang dialirkan kepadanya.
Ketika seorang ibu hidup dalam kasih dan ketenangan, ia sebenarnya sedang memberi ruang bagi janin untuk menghidupi kebebasannya dengan damai. Namun, ketika dunia luar penuh kekerasan, ketakutan, atau penolakan, kebebasan batin itu ikut tertekan — karena relasi kasih yang mestinya menyokongnya menjadi sempit.
Maka, melindungi kehidupan janin berarti melindungi kebebasannya untuk menjadi pribadi yang utuh — kebebasan untuk menerima kasih, merasakan dunia, dan berkembang tanpa paksaan.
4. Menolak Mendengarkan, Mengingkari Ciptaan
Setiap janin berbicara melalui cara yang hanya bisa dipahami oleh hati yang hening. Kadang ia berbicara melalui gerakan lembut, kadang lewat intuisi yang dirasakan sang ibu. Ia menyampaikan rasa nyaman, cemas, atau gembira dengan bahasa yang bukan kata, tetapi getaran kasih yang intuitif.
Ketika kita menolak mendengarkan ekspresi ini — ketika kehidupan dalam rahim direduksi menjadi objek penelitian, statistik, atau beban — kita sebenarnya mengabaikan sabda Allah yang sedang berinkarnasi dalam tubuh manusia.
Menutup telinga terhadap suara halus janin berarti menolak keunikan ciptaan Allah. Sebaliknya, membuka hati untuk mendengar berarti mengakui bahwa Allah masih berbicara dalam bahasa kehidupan — melalui gerak lembut, napas kecil, dan denyut jantung yang tumbuh dalam diam.
5. Imago Dei yang Terwujud dalam Relasi
Kehendak bebas janin menemukan maknanya dalam relasi: dengan ibunya, dengan lingkungan yang menyambutnya, dan dengan Allah yang menjadi sumber hidupnya. Kebebasan ini tidak berdiri sendiri, tetapi berakar pada kasih — karena kasih adalah bentuk tertinggi dari kebebasan.
Dalam setiap kehamilan, Allah memperlihatkan kembali siapa diri-Nya: kasih yang memberi ruang bagi yang lain untuk ada, tumbuh, dan menjadi unik. Maka, setiap janin bukan hanya cerminan Allah, tetapi partisipasi dalam kehidupan ilahi — tanda bahwa cinta Allah tidak berhenti mencipta.
Penutup: Mendengar Allah yang Berdenyut dalam Rahim
Janin adalah Imago Dei yang hidup — ciptaan yang memiliki kehendak bebas, kesadaran halus, dan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa kasih. Di dalam dirinya, kita melihat Allah yang berinkarnasi terus-menerus dalam setiap kehidupan baru.
Mendengarkan janin berarti menghormati misteri kebebasan dan keunikannya. Menyambutnya berarti mengakui bahwa kasih Allah masih bekerja di tengah dunia yang sering lupa pada kesucian hidup.
Sebab di dalam rahim, Allah sedang berbicara dalam bahasa paling murni: bahasa kehidupan yang meminta untuk dicintai.

