• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Imago Dei dan Relasi: Menemukan Wajah Allah dalam Keintiman Ibu dan Janin

Imago Dei dan Relasi: Menemukan Wajah Allah dalam Keintiman Ibu dan Janin

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Pendahuluan

Salah satu pilar utama antropologi teologis Kristen adalah keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (imago Dei) (Kejadian 1:26–27). Pernyataan ini menjadi dasar martabat manusia dan sumber makna eksistensinya. Namun, makna imago Dei tidak dapat dipahami secara statis atau individualistis.
Manusia mencerminkan Allah bukan semata karena akal budi atau kehendaknya, melainkan karena kemampuannya untuk hidup dalam relasi kasih. Allah sendiri, dalam misteri Tritunggal Mahakudus, adalah persekutuan kasih tiga Pribadi yang saling memberi diri.

Dengan demikian, manusia — termasuk janin dalam kandungan — mengungkapkan imago Dei bukan terutama melalui kesadaran rasionalnya, tetapi melalui keberadaannya yang relasional, yang hidup, tumbuh, dan berakar dalam kasih.


Imago Dei dalam Dimensi Prenatal

Selama ini, pembicaraan tentang imago Dei sering kali berpusat pada manusia yang telah lahir, berpikir, dan bertindak. Namun, teologi tubuh prenatal memperluas cakrawala ini dengan melihat bahwa citra Allah telah hadir bahkan sejak tahap kehidupan yang paling awal.

Janin bukan “potensi manusia”, melainkan manusia dalam proses pewahyuan diri, pribadi yang sudah membawa benih imago Dei dalam dirinya. Ia mencerminkan Allah melalui kehidupan yang sedang tumbuh, bergantung, dan terbuka pada kasih ibu yang menaunginya.
Dalam ketergantungan total itu, janin menyingkapkan wajah Allah yang paradoks: Allah yang Mahakuasa namun juga Mahalemah-lembut, Allah yang hidup dalam persekutuan dan saling memberi diri.

Maka, rahim dapat dipandang sebagai ikon Trinitaris—ruang di mana relasi kasih yang saling berdiam dan saling menghidupi diwujudkan secara biologis dan spiritual.


Relasi sebagai Wujud Konkret Imago Dei

Manusia menjadi citra Allah sejauh ia hidup dalam relasi yang menghargai, mendengarkan, dan memberi ruang bagi yang lain. Relasi inilah bentuk paling konkret dari imago Dei.
Dalam konteks prenatal, relasi antara ibu dan janin adalah manifestasi mendalam dari realitas ini. Tubuh ibu menjadi ruang kasih, sedangkan tubuh janin menjadi tanggapan terhadap kasih itu. Keduanya saling berkomunikasi tanpa kata — melalui aliran darah, hormon, dan detak jantung — dalam suatu keintiman yang suci.

Ketika relasi ini dijalani dalam kasih dan penghormatan, imago Dei tampak nyata: kehidupan menjadi persekutuan, bukan kepemilikan; keberadaan menjadi pemberian, bukan penguasaan.
Sebaliknya, ketika relasi berubah menjadi relasi objektifikasi—ketika tubuh ibu dianggap sebagai alat, atau janin diperlakukan sebagai objek biologis—terjadilah pengingkaran terhadap imago Dei. Kasih yang seharusnya menjadi dasar eksistensi manusia berubah menjadi relasi kuasa yang melukai.


Relasi Iman dan Ilmu sebagai Cermin Imago Dei

Relasi kasih tidak hanya berlaku dalam tataran biologis ibu–janin, tetapi juga dalam ranah epistemologis antara iman dan ilmu. Dalam visi teologi tubuh prenatal, iman dan ilmu dipahami bukan sebagai dua kutub yang saling bertentangan, melainkan sebagai dua cara Allah berbicara tentang kehidupan.

Ketika iman mendengarkan ilmu, dan ilmu merendah di hadapan misteri iman, keduanya mencerminkan pola relasi Trinitaris: saling memberi diri, saling meneguhkan, saling memperkaya.
Namun, ketika ilmu menolak dimensi spiritual, atau iman menutup diri terhadap realitas empiris, maka terjadilah bentuk lain dari keretakan relasi, yaitu reduksi terhadap kebenaran dan kehidupan itu sendiri.

Dengan demikian, menjaga harmoni antara iman dan ilmu adalah bagian dari tugas manusia sebagai pembawa citra Allah yang hidup dalam dialog kasih.


Rusaknya Relasi sebagai Pengingkaran terhadap Imago Dei

Setiap bentuk relasi yang merendahkan yang lain menjadi objek — entah dalam relasi medis, sosial, atau spiritual — merupakan bentuk penyangkalan terhadap imago Dei.
Ketika ibu kehilangan martabat tubuhnya karena tekanan atau eksploitasi, atau ketika janin dipandang semata dari sudut utilitas medis, kita secara teologis sedang menghapus wajah Allah dari kehidupan manusia.

Imago Dei bukanlah atribut yang bisa diukur, tetapi relasi yang harus dijaga. Ia hidup hanya sejauh kasih dihidupi. Oleh karena itu, menjaga relasi antara ibu dan janin, antara iman dan ilmu, adalah bentuk peribadahan yang sejati — sebuah partisipasi dalam kasih Trinitaris yang menciptakan dan memelihara kehidupan.


Penutup

Imago Dei adalah dasar seluruh teologi tubuh prenatal: manusia, bahkan sejak dalam rahim, adalah citra Allah yang dipanggil untuk hidup dalam kasih. Kesempurnaan manusia tidak ditemukan dalam kesadaran diri atau kemampuan rasional, melainkan dalam kemampuannya untuk berelasi secara penuh kasih — sebagaimana Allah sendiri adalah Relasi.

Ketika tubuh ibu menghargai kehidupan yang dikandungnya, ketika ilmu menghormati misteri yang dijelaskan oleh iman, ketika kasih menjadi dasar setiap relasi — di sanalah wajah Allah tampak.
Namun, ketika relasi berubah menjadi penguasaan, dan kasih digantikan oleh kontrol, maka imago Dei menjadi kabur dalam diri manusia.

Menjaga relasi berarti menjaga citra Allah tetap hidup di dunia. Dalam setiap denyut jantung janin, dalam setiap belaian kasih ibu, dan dalam setiap keputusan medis yang berlandaskan hormat terhadap kehidupan, Allah sendiri sedang berbicara — menghadirkan diri-Nya dalam keheningan rahim dan dalam tubuh yang menjadi tempat kasih berdiam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *