
Hidup yang Dibangun di Atas Fondasi Kasih
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam perjalanan panjang manusia mencari makna, sering sekali kita lupa bahwa hidup memiliki dasar yang begitu sederhana namun sangat mendalam: kasih. Banyak orang berusaha membangun hidup setinggi mungkin, secepat mungkin, dengan ukuran-ukuran dunia yang sering kali hanya menuntut pengakuan, pujian, dan pencapaian lahiriah. Namun ketika hidup dibangun di atas motivasi yang salah, yang muncul bukanlah kebahagiaan, melainkan kekosongan. Seperti rumah yang tidak mengikuti garis fondasi, hidup pun perlahan menjadi miring, retak, dan akhirnya roboh.
Padahal, hidup yang sejati selalu bertumpu pada fondasi yang lebih dalam daripada ambisi sesaat: fondasi rahmat. Rahmat ini bukan sesuatu yang datang sebagai hadiah untuk orang-orang tertentu saja, melainkan aliran energi kehidupan yang hadir bagi siapa pun yang membuka diri. Tetapi ada satu syarat penting: rahmat hanya mengalir ketika kita berada di jalur yang benar. Ketika seseorang melakukan “transaksi” yang salah—menggantikan nilai-nilai kasih dengan kesombongan, kerakusan, dan pengejaran kenikmatan—maka aliran itu bisa berhenti.
Dalam kehidupan sehari-hari, kesalahan transaksi ini muncul dalam bentuk yang sangat sederhana. Orang berlomba-lomba menunjukkan kehebatan melalui konsumsi: makan di restoran paling mahal demi cerita, berbelanja sebanyak-banyaknya demi gengsi, atau membuat pesta besar agar dianggap hebat. Ukurannya hanya tubuh, rasa enak, kenikmatan sesaat, dan pujian orang. Padahal hidup seharusnya bukan soal memuaskan tubuh, melainkan mengikuti nilai yang menghidupkan jiwa. Perbedaan paling sederhana bisa dilihat dari cara kita makan: yang mengukur berdasarkan “enak” sesungguhnya hanya melayani tubuh; sementara yang mengukur berdasarkan “berguna” sedang melayani kehidupan.
Ketika seseorang hidup jauh dari fondasi kasih, tubuh dan jiwanya pelan-pelan memberi tanda. Hidup menjadi berat, mudah sakit, mudah stres, dan mudah merasa kurang meskipun harta melimpah. Ini seperti bangunan yang dipaksakan berdiri di atas dasar yang bergeser. Namun hidup selalu memberi kesempatan untuk kembali ditata ulang. Ada masa-masa dalam hidup di mana kita seolah dirombak habis-habisan—entah melalui kelelahan yang memuncak, penyakit, kegagalan, kehilangan, atau kejenuhan yang tak terjelaskan. Banyak orang mengira itu adalah hukuman, padahal justru momen pemulihan. Dalam keadaan seperti itu, ada ajakan halus untuk kembali ke dasar yang sejati.
Proses dirombak memang tidak selalu menyenangkan. Ia menuntut kerelaan untuk melepaskan pola hidup lama yang berpusat pada ego. Tetapi setelah fondasi yang benar ditemukan kembali, hidup menjadi lebih ringan. Kita mulai memahami bahwa kesederhanaan seringkali lebih sehat daripada kemewahan, bahwa makanan lokal lebih menghidupkan daripada makanan yang dikejar demi gengsi, bahwa melayani orang lain lebih bermakna daripada berfoto untuk pamer. Perlahan-lahan, arah hidup berubah: bukan lagi mengejar tepuk tangan, tetapi mengalirkan kasih.
Ketika hidup dibangun kembali sesuai fondasi kasih, sesuatu yang halus namun kuat mulai terasa. Ada ketenangan baru, ada rasa cukup, ada damai yang tidak bisa dibeli. Hidup tidak lagi dipenuhi dorongan untuk membuktikan diri, melainkan keinginan untuk memberi. Kita menjadi saluran kebaikan bagi orang di sekitar. Kebaikan yang sederhana—seperti menahan diri dari kerakusan, memilih makanan yang secukupnya, atau menghabiskan waktu untuk membantu orang lain—menjadi cara kita mengalirkan rahmat.
Kesadaran baru ini mengubah cara kita melihat dunia. Kita tak lagi merasa perlu mengeksploitasi alam berlebihan, karena kita tahu bahwa hidup yang selaras adalah hidup yang menghargai apa yang ada di sekitar. Kita tak lagi merasa harus bepergian jauh untuk membuktikan sesuatu, karena kedalaman hidup ternyata dapat ditemukan dalam hal-hal kecil yang dikerjakan dengan kasih. Dan yang terpenting, kita mulai memahami bahwa hidup bukanlah ajang pamer, melainkan perjalanan panjang membangun diri berdasarkan fondasi yang sudah tersedia sejak awal.
Hidup yang dibangun di atas kasih membuat manusia menjadi tempat di mana rahmat dapat mengalir. Kasih itu menghidupkan, memulihkan, dan memberi arah. Selama seseorang tetap setia pada fondasi itu, hidupnya akan kokoh, meski badai datang. Tidak ada bangunan yang roboh bila fondasinya benar. Demikian pula tidak ada hidup yang gagal bila dibangun di atas kasih.
Pada akhirnya, pesan kehidupan sebenarnya sangat sederhana: kembali ke fondasi yang menghidupkan, tinggalkan transaksi-transaksi yang merusak, dan biarkan rahmat mengalir apa adanya. Ketika hidup dijalani dengan kasih sebagai dasar, segalanya berubah. Kita menjadi diri yang lebih utuh, lebih damai, dan lebih menghidupkan bagi dunia.

