
🌱 Saat Jiwa Janin Berbicara: Meruntuhkan Warisan Dualisme Descartes dalam Dunia Kebidanan
Oleh dr. Maximus Mujur, S.P.OG
Dok, kenapa ya… setiap kali saya sedih, bayi dalam kandungan saya seperti ikut gelisah? Dia jadi lebih sering bergerak, kadang menendang seperti marah…”
Seorang ibu hamil bertanya, bukan karena ia membaca jurnal neurologi atau buku tentang psikosomatis. Ia merasakan. Bahwa di dalam perutnya, ada jiwa kecil yang sedang mendengarkan, menanggapi, bahkan mencoba bicara.
Tapi… kepada siapa ia bicara? Dan siapa yang benar-benar mau mendengarkannya?
🌗 Warisan Descartes: Tubuh di Satu Sisi, Jiwa di Sisi Lain
René Descartes, filsuf abad ke-17, pernah memecah manusia menjadi dua: res cogitans (substansi berpikir/jiwa) dan res extensa (substansi fisik/tubuh). Pemisahan ini seperti membelah manusia menjadi dua dunia yang nyaris tak bersentuhan: satu rasional, satu mekanik.
Warisan ini membekas kuat dalam dunia kedokteran. Tubuh dilihat sebagai mesin yang bisa diperbaiki. Sementara jiwa? Terlalu abstrak untuk ditimbang dengan stetoskop atau diukur lewat USG.
Akibatnya, dalam praktik kebidanan modern, kehamilan sering direduksi menjadi urusan fisik: detak jantung janin, tekanan darah ibu, grafik pertumbuhan. Tapi bagaimana dengan emosi ibu? Perasaan janin? Komunikasi sunyi di antara keduanya?
🧸 Jiwa Janin: Yang Tak Tampak Tapi Nyata
Janin bukan hanya kumpulan sel dan organ. Ia memiliki sensitivitas. Ia merespons suara, cahaya, bahkan gelombang emosi ibunya. Bukankah itu bentuk awal komunikasi?
Saat ibu merasa takut, cemas, atau lelah secara emosional, tubuhnya melepaskan hormon stres seperti kortisol. Hormon ini menembus plasenta dan memengaruhi perkembangan otak janin. Ilmu pengetahuan sudah mencatatnya, namun praktik kebidanan masih sering mengabaikannya.
👩🍼 Ketika Tubuh Ibu Menjadi Medan Percakapan Jiwa
Apa yang terjadi dalam kehamilan bukan hanya perubahan biologis. Ia juga proses spiritual. Tubuh ibu adalah medan resonansi antara dua dunia: yang terlihat dan yang tak terlihat.
Perubahan suasana hati, mimpi-mimpi aneh, air mata tanpa sebab—semuanya bisa menjadi “sinyal” bahwa ada jiwa kecil di dalam sana yang sedang mengajak berdialog. Tapi dialog ini bukan dengan kata-kata. Melainkan dengan rasa, intuisi, keheningan.
📍 Mengapa Dualisme Merusak?
Ketika kita memisahkan tubuh dan jiwa, kita kehilangan makna dari peristiwa kehamilan. Kita fokus pada laboratorium, tapi lupa pada labor cinta. Kita ukur berat janin, tapi tak ukur berat batin ibu. Kita hitung denyut, tapi tak dengar bisikan.
Inilah “kerusakan” warisan Descartes: praktik kebidanan jadi fragmentaris, tak utuh. Padahal, kehamilan adalah momen holistik di mana jiwa dan tubuh saling menari dalam harmoni yang sangat halus.
💡 Saatnya Kebidanan Holistik: Menyembuhkan Pemisahan Jiwa dan Tubuh
Apa yang bisa kita lakukan?
- Dengarkan Ibu, Bukan Hanya Diagnosanya
Setiap kunjungan antenatal adalah peluang untuk bertanya: “Apa kabar hatimu hari ini?” Bukan hanya “apa keluhanmu?” - Fasilitasi Ruang Hening
Sediakan ruang—secara harfiah maupun batin—di mana ibu hamil bisa menyapa bayinya. Lewat doa, meditasi, atau sekadar diam dalam kesadaran. - Latih Praktisi Kesehatan untuk Peka Jiwa
Ilmu kebidanan tak cukup hanya dengan keterampilan teknis. Dibutuhkan empati, kehadiran penuh, dan intuisi untuk mengantar ibu dan janin dalam perjalanan sakral mereka.
🌀 Penutup: Mendengar Bisikan dari Dalam Rahim
Mungkin jiwa janin tak bicara dalam bahasa kita. Tapi ia mengirimkan pesan lewat gerak, lewat getar, lewat rasa.
“Bu, aku belum lahir… tapi aku sudah ada. Dengarkan aku. Rasakan aku. Aku bukan sekadar tubuh kecil—aku adalah jiwa yang tumbuh bersamamu.”
Jika kita belajar mendengarkan komunikasi ini, mungkin kita bisa menyembuhkan bukan hanya tubuh ibu dan bayi, tetapi juga warisan pemikiran yang terlalu lama memisahkan yang seharusnya menyatu.
✉️ Ingin mengenal lebih dalam konsep komunikasi jiwa dalam kehamilan?
Silakan hubungi kami di sini
💌 Kontak: maximus@unpad.ac.id