• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Beranilah Menjadi Bijaksana, Beranilah Menjadi Suci: Di Tengah Dunia Positivistik, Ibu dan Janin Berbicara Lewat Jiwa

Beranilah Menjadi Bijaksana, Beranilah Menjadi Suci: Di Tengah Dunia Positivistik, Ibu dan Janin Berbicara Lewat Jiwa

image_pdfimage_print

Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Di era rasionalitas yang mengagungkan hal-hal yang dapat dibuktikan secara ilmiah, suara hati, intuisi, dan pengalaman batin kerap dipinggirkan. Dunia yang dibentuk oleh cara berpikir positivistik—di mana yang nyata adalah yang dapat diukur, diuji, dan dilihat—telah lama menolak wilayah-wilayah tak kasat mata, termasuk keajaiban spiritual yang terjadi dalam kehamilan: komunikasi jiwa antara ibu dan janin.

Namun, justru di dalam rahim yang sunyi itu, percakapan terdalam berlangsung. Di situlah panggilan ini menemukan maknanya: beranilah menjadi bijaksana, beranilah menjadi orang suci. Karena hanya lewat kebijaksanaan dan kesucian batin, seorang ibu dapat menangkap sinyal-sinyal halus yang datang dari jiwa kecil dalam kandungannya.


Dunia yang Membelokkan: Ketika Ilmu Tak Lagi Mendengar Batin

Dunia hari ini cenderung menjadikan kehamilan sebagai peristiwa biologis semata. Semua dilihat dari grafik pertumbuhan, denyut jantung janin, hasil USG, dan data laboratorium. Ini penting—tetapi tidak cukup. Ketika hanya yang kasat mata dianggap valid, maka pengalaman terdalam seorang ibu—seperti rasa kehadiran janin, komunikasi batin yang menyapa lewat emosi, atau intuisi kuat tentang kebutuhan si kecil—dianggap ilusi atau sekadar “pengaruh hormon.”

Padahal, para ibu tahu: ada momen-momen hening saat mereka merasa janinnya “berbicara”—bukan dengan kata-kata, tapi dengan rasa. Ada intuisi yang membisikkan bahwa sang bayi sedang tenang, gelisah, bahagia, atau meminta sesuatu. Ini bukan fantasi. Ini adalah komunikasi jiwa, yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang berani masuk ke dalam ruang batin, bukan hanya ruang pikir.


Keberanian Menjadi Bijaksana dan Suci: Jalan Sunyi Ibu Hamil

Dalam menghadapi dunia yang terus membelokkan arah ke luar—ke data, tren, dan definisi medis—seorang ibu ditantang untuk tetap setia pada suara dalamnya. Ia harus berani menjadi bijaksana, yakni berani mempercayai intuisi yang tidak selalu dapat dijelaskan secara logis. Ia harus berani menjadi suci, dalam arti menjaga kejernihan hati dan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam rahimnya.

Kesucian di sini bukan semata moral, tetapi kondisi batin yang jernih, penuh kasih, dan peka terhadap sinyal spiritual. Hanya dalam kondisi batin seperti ini, komunikasi jiwa dengan janin dapat berlangsung secara alami dan mendalam.


Komunikasi Jiwa: Melampaui Dunia Positivistik

Positivisme mengajarkan bahwa “yang benar adalah yang tampak.” Tapi dalam relasi ibu dan janin, yang benar justru sering kali tidak tampak. Ia hadir dalam bentuk firasat, rasa nyaman saat mendengarkan lantunan doa, atau dorongan batin untuk mengubah pola makan karena “si kecil” seperti berbisik lewat rasa tidak nyaman.

Banyak ibu menceritakan bahwa ketika mereka dalam keadaan tenang, berzikir, membaca Al-Qur’an atau merenung dalam doa, mereka merasa janin ikut merespons. Janin menjadi lebih aktif, lebih damai, atau seolah “berkomunikasi” melalui gerakan-gerakan halus. Semua ini tak bisa ditangkap oleh alat medis—tetapi nyata di ranah batin.

Dan itulah yang membuktikan: untuk bisa berkomunikasi dengan jiwa janin, seorang ibu harus berani meninggalkan keramaian luar, dan masuk ke keheningan dalam. Ia harus membiarkan nuraninya menjadi radar utama, bukan hanya monitor detak jantung.


Kesimpulan: Memulihkan Jiwa Ibu di Tengah Dunia yang Bising

Kehamilan bukan hanya proses biologis, tapi perjalanan spiritual. Komunikasi antara ibu dan janin tidak cukup dipahami lewat angka dan alat, tapi harus dijalani dengan kepekaan jiwa. Di sinilah keberanian menjadi bijaksana dan suci menjadi kunci utama.

Dalam dunia yang terus mendikte apa yang tampak sebagai satu-satunya kebenaran, para ibu diundang untuk kembali percaya pada apa yang tidak tampak, namun terasa. Mereka tidak sedang berkhayal, melainkan sedang menyentuh inti terdalam kehidupan—jiwa yang sedang tumbuh, dan ingin dikenal bukan hanya lewat tubuh, tetapi lewat hati.

Maka, beranilah menjadi bijaksana. Beranilah menjadi suci. Karena hanya dengan itulah, seorang ibu dapat benar-benar mendengar jiwa kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *