Aku Mendengarmu, Nak: Ketika Jiwa Seorang Ibu Menyapa Jiwa Janinnya

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Di balik senyap rahim yang penuh kehangatan, suara halus itu menggema. Bukan suara keras yang bisa direkam oleh alat, bukan pula tangisan yang menggugah telinga—melainkan bisikan jiwa yang hanya dapat ditangkap oleh hati seorang ibu yang bersedia mendengarkan.

Suara itu datang dari janin—makhluk mungil yang belum sempurna tubuhnya, tetapi telah utuh jiwanya. Ia tidak meminta banyak, hanya satu: “Dengarkan aku dengan hatimu, Mami.”

Dalam dunia medis, kehamilan seringkali dipandang sebagai proses biologis yang kompleks. Tapi bagi sebagian ibu yang membuka ruang batin dan mendalami pengalaman kehamilan sebagai perjalanan spiritual, kehadiran janin bukan sekadar pertumbuhan fisik, melainkan perjumpaan dua jiwa yang saling berbicara dengan bahasa yang tak terdengar.

Bahasa yang Tak Terucap: Dialog Jiwa ke Jiwa

Puisi-puisi yang ditulis dari sudut pandang janin membawa kita pada refleksi mendalam. Janin tidak berbicara dengan mulut, tetapi ia mampu menyampaikan rasa melalui gejala-gejala fisik: mual, muntah, resah, bahkan perubahan suasana hati sang ibu. Semua itu bukan sekadar hormonal, tetapi juga sarana komunikasi.

Maka, ibu yang sadar akan ini tak tinggal diam. Ia tidak hanya menelan gejala itu sebagai beban, tetapi membacanya sebagai surat cinta yang belum selesai dikirimkan. Dari sana, lahirlah puisi balasan, seperti “Aku Mendengarmu, Nak”, yang ditulis bukan sekadar untuk menjawab, tapi untuk meneguhkan kembali ikatan batin yang telah dirajut sejak benih kehidupan itu hadir.

Mengandung Lebih dari Sekadar Tubuh

Menjadi ibu bukan hanya perkara mengandung tubuh, tetapi juga mengandung jiwa. Itu artinya, kehadiran janin membawa tanggung jawab yang lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan nutrisi atau memeriksakan kandungan rutin. Ia mengundang ibunya untuk lebih hadir: secara emosi, spiritual, dan batin.

Ketika seorang ibu berkata, “Aku mendengarmu, Nak,” ia sedang membuka pintu kasih yang sejati—kasih yang tak bersyarat, yang tidak menuntut balasan, tetapi rela memberi, mendengarkan, dan menjadi pelindung yang setia.

Ini bukan sekadar metafora. Banyak ibu yang merasa “tiba-tiba ingin mendengar ayat suci,” “tergerak untuk menyanyikan lagu tertentu,” atau “merasakan keinginan yang tak biasa” selama kehamilan. Itu bukan halusinasi. Itu bisa jadi adalah getaran batin janin yang sedang menyampaikan pesan: “Aku ingin tumbuh dengan damai. Temani aku dengan cinta.”

Peran Ayah dan Lingkungan: Kasih yang Menguatkan

Surat cinta dari ibu tak lengkap tanpa mengajak ayah dalam pelukan kasih itu. Sang ayah juga diajak untuk mendengarkan, merespon, dan menyapa dengan lembut. Janin, dalam puisinya, bahkan memohon: “Tolong jangan bertengkar di hadapanku… karena aku juga punya jiwa.” Betapa peka jiwa mungil itu, hingga suasana hati orang tuanya pun bisa memengaruhi pertumbuhannya.

Lingkungan pun turut ambil bagian. Kata-kata yang dilontarkan, musik yang diputar, doa yang dibisikkan, semuanya menjadi jembatan komunikasi antara dunia dalam rahim dan dunia luar.

Puisi sebagai Medium Jiwa

Melalui puisi, seorang ibu bisa menjawab dengan penuh kelembutan. Tidak dengan penjelasan medis yang kaku, tetapi dengan bahasa yang hidup—yang mengalir dari rasa terdalam. Inilah keunikan puisi: ia tidak hanya menjelaskan, tetapi juga menggerakkan. Ia bukan hanya memberi tahu, tetapi juga menyentuh.

Dalam puisi “Aku Mendengarmu, Nak”, sang ibu menyampaikan permintaan maaf, rasa terima kasih, dan janji yang tulus. Ia mengakui kelemahan dirinya, namun juga menegaskan tekadnya untuk menjadi rumah terbaik bagi anak yang sedang dikandungnya. Puisi ini menjadi saksi bisu, betapa cinta ibu melampaui logika, dan betapa komunikasi itu bukan soal bicara—tapi soal hadir, menyimak, dan menerima.


Penutup: Mendengar yang Tak Terucap

Kita hidup di dunia yang bising, tapi justru dalam kehamilan, kita diajak untuk menyepi. Menyepi agar bisa mendengar. Bukan hanya mendengar detak jantung janin lewat alat medis, tapi mendengar detak jiwanya lewat intuisi.

“Aku mendengarmu, Nak” adalah lebih dari puisi. Ia adalah deklarasi cinta yang tak bersyarat. Ia adalah pelukan jiwa seorang ibu kepada anak yang belum lahir. Dan mungkin, di sanalah letak keajaiban yang sesungguhnya dari menjadi seorang ibu: ketika hati mampu mendengar sebelum telinga bisa mendeteksi suara.