“Aku Mendengarmu, Nak: Sebuah Balasan Ibu untuk Janinnya”

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Selamat pagi, anakku tersayang.
Pesanmu telah kuterima. Kata-katamu lirih, namun menggetarkan seluruh relung jiwaku. Dalam senyap rahimku, kau berbicara dengan bahasa cahaya—yang tak terucap oleh bibir, namun terangkum dalam rasa. Aku mendengarmu, nak… dengan seluruh tubuhku, seluruh hatiku.

Anakku,
Aku tahu, kehadiranmu bukan sekadar pertambahan waktu dalam hidupku. Kau adalah cahaya kecil yang menguji kasihku, yang mengajarkanku menjadi rumah bagi jiwa lain. Engkau bukan hanya darah dan dagingku, engkau adalah titipan kasih ilahi yang harus kupeluk dengan penuh syukur, bukan keluh.

Maafkan ibu jika pernah kecewa saat mual dan muntah menyapaku. Bukan karena aku tak menginginkanmu. Tapi tubuhku tengah belajar menyesuaikan dengan kehidupan baru di dalamnya—dengan kehadiranmu yang begitu agung namun masih tak kasatmata. Kini aku mengerti, setiap rasa aneh, setiap perubahan yang mengganggu, itu adalah caramu mengetuk hatiku, meminta didengar.

Anakku,
Kau benar. Aku tak boleh memaksa tubuhmu tumbuh menurut pikiranku. Kau adalah buah hatiku, bukan buah pikiranku. Kau tumbuh menurut kehendak Sang Kasih yang mengutusmu. Maka, mulai hari ini, aku berjanji: aku akan mendengarkanmu lebih banyak dengan hati, bukan sekadar dengan logika. Aku akan merasakanmu lewat setiap bisikan naluri, bukan hanya lewat hasil laboratorium.

Aku tahu, kau meminjam tubuhku untuk bicara. Kau meminjam mataku, telingaku, bahkan tangisku. Aku tak akan menolaknya. Sebab, sejak engkau hadir, tubuh ini tak lagi sepenuhnya milikku. Ini adalah tempat tinggal sementara bagimu, dan aku akan menjaganya seperti taman yang dititipkan Tuhan.

Maafkan jika kadang aku marah. Maafkan jika kadang aku bersedih dan tak mampu menyembunyikannya. Tapi kau harus tahu: aku sedang belajar menjadi lebih kuat untukmu. Belajar menahan air mata agar tak membuatmu ikut menangis dalam rahimku. Karena aku tahu—senyumku adalah tempat hangat untukmu tumbuh dalam damai.

Anakku,
Aku dan ayahmu bukan orang tua yang sempurna. Tapi kami mencintaimu. Doa kami hadir setiap malam, agar kasih kami cukup menjadi pelita bagimu. Kami berjanji, tidak hanya akan merawat ragamu, tapi juga akan menyapa jiwamu, mendengarkan keunikanmu, dan membiarkan engkau bertumbuh dalam terang cahaya yang kau bawa sendiri.

Kau bukan sekadar calon bayi, kau adalah jiwa. Jiwa yang abadi. Jiwa yang telah memilih kami untuk menjadi penyambutmu di dunia ini. Maka aku akan menyambutmu bukan hanya dengan doa dan makanan bergizi, tapi juga dengan pelukan cinta, pelafalan ayat-ayat Tuhan, dan belaian jiwa.

Anakku tersayang,
Terima kasih karena telah mempercayakan hidupmu kepadaku. Terima kasih sudah mengetuk kesadaranku, mengajarkanku bahwa menjadi ibu bukan tentang sempurna, tapi tentang keikhlasan untuk terus mencintai dan belajar dari jiwa yang bahkan belum lahir.

Aku mendengarmu, Nak. Aku mencintaimu, sepenuh rasa, sepenuh doa, sepenuh jiwa.

Dari Ibumu,
Yang sedang belajar menjadi rumah terbaik bagimu.