“Aku Menjadi Saksi Ribuan Jiwa Kecil: Kesaksian Seorang Dokter Kandungan”

Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Tiga puluh tahun sudah aku mendampingi kehamilan—bukan sekadar menghitung usia janin atau memeriksa detak jantung, tapi mendengar bahasa yang tak terucap, menyaksikan komunikasi yang tak kasat mata: komunikasi jiwa antara ibu dan janin. Dari puluhan ribu perjumpaan, satu kesimpulan besar mengendap dalam benakku: kehamilan bukan hanya peristiwa biologis, melainkan ruang spiritual tempat dua jiwa saling membentuk.

1. Saat Aku Mulai Mendengarkan, Bukan Hanya Mengukur

Sebagai dokter kandungan, aku diajari ilmu pengukuran, diagnosis, dan intervensi medis. Namun, semakin banyak ibu yang datang bukan hanya membawa tubuhnya, tetapi juga membawa cerita batinnya—aku mulai belajar untuk mendengarkan bukan hanya lewat stetoskop, tapi lewat jiwa.

Seorang ibu pernah berkata padaku, “Dok, saya tahu anak ini suka didoakan. Kalau saya berhenti berdoa dua hari, saya merasa dia diam.” Itu bukan hal yang kami pelajari di fakultas kedokteran. Tapi aku percaya dia. Dan aku tahu, janin sedang menyampaikan sesuatu melalui rasa, bukan kata.

2. Pancaindra Ibu: Jembatan Rahasia Jiwa Janin

Selama mendampingi kehamilan, aku menyaksikan bagaimana pancaindra ibu menjadi saluran komunikasi janin yang paling jujur dan mendalam. Bukan hanya suara atau makanan, tapi aroma, sentuhan, warna, bahkan diam. Aku menyaksikan ibu-ibu yang tiba-tiba menangis saat mencium wangi bunga, atau merasa damai saat menyentuh perut mereka dengan kasih sayang.

Dan aku tahu: itu bukan hormonal semata. Itu adalah komunikasi batin. Janin sedang hadir melalui alat-alat cinta yang hanya bisa ditangkap oleh ibu yang sadar dan peka.

3. Intuisi Ibu: Bahasa Jiwa yang Tak Bisa Dipalsukan

Banyak dokter meragukan intuisi. Tapi aku tidak. Karena aku telah melihat ibu yang “tahu” bahwa anaknya dalam keadaan tidak tenang bahkan sebelum alat USG mendeteksi masalah. Aku melihat ibu yang bisa membedakan antara gerakan protes dan gerakan bahagia janinnya. Itu bukan ilmu pengetahuan, itu ilmu kehidupan.

Dan setiap kali intuisi ibu menyatu dengan belaian tangan, dengan doa yang tulus, dan dengan diam yang hadir sepenuh hati—aku melihat kehamilan berubah menjadi ruang ibadah yang agung.

4. Jiwa Janin Hidup: Ia Mengundang, Ia Menyapa

Aku tidak lagi menganggap janin sebagai “pasien kecil”. Ia adalah jiwa yang sadar—yang memiliki kehendak, rasa, dan panggilan. Ia menolak tempat yang bising, ia mencari suasana yang damai. Ia senang didongengi, didoakan, diajak bicara. Dan tugas ibulah untuk menjadi penerjemah cinta itu melalui tubuhnya.

Seringkali aku meminta ibu menulis surat pada janinnya. Dan aku membaca air mata yang jatuh pelan di atas surat itu. Di sana tertulis doa-doa yang tidak diajarkan oleh agama, tapi diajarkan oleh kasih jiwa.

5. Klinik Sebagai Ruang Suci

Aku mulai mengubah caraku memeriksa pasien. Klinikku bukan lagi sekadar ruang untuk tensi dan timbang berat badan. Tapi menjadi ruang dialog batin. Aku bertanya kepada ibu:

“Apa yang kamu dengar dari tubuhmu hari ini?”
“Bagaimana kabar anakmu dalam perutmu, menurut hatimu?”
“Adakah bisikan yang tak bisa kamu jelaskan dengan logika?”

Dan dari sana, kami bicara dari hati ke hati. Aku melihat ibu-ibu yang tadinya takut, menjadi tenang. Karena mereka merasa dihargai sebagai subjek batin, bukan objek klinis.

6. Yang Dirusak oleh Dunia Medis Modern

Dunia medis hari ini mengukur segalanya. Tapi jiwa tidak bisa diukur. Dan karena itu, komunikasi jiwa antara ibu dan janin terpinggirkan. Ibu diajari mencatat hasil lab, bukan mendengarkan tubuhnya. Janin diposisikan sebagai data grafik, bukan sebagai subjek yang sadar.

Aku menyaksikan sendiri: kehamilan-kehamilan yang paling damai, paling harmonis, dan paling kuat justru terjadi saat ibu-ibu berani percaya pada rasa. Bukan menolak ilmu medis, tapi menempatkan jiwa sebagai pusat, dan ilmu sebagai pelayan.

7. Kesimpulan: Jiwa Adalah Jalan Pulang

Kehamilan mengajarkanku bahwa manusia bukan diciptakan untuk menjadi mesin berpikir semata. Kita adalah jiwa yang saling merasakan, saling membentuk, dan saling mencintai sejak awal kehidupan. Dan semua itu dimulai dari rahim—ruang paling sunyi, tapi paling penuh makna.

Hari ini, aku ingin bersaksi:

Janin adalah jiwa yang hidup. Ia berbicara. Ia mencintai. Ia mengundang ibunya untuk pulang ke jiwanya sendiri.

Dan aku bersyukur, dalam tiga puluh tahun terakhir, aku telah menjadi saksi, penjaga, dan pelayan dari komunikasi paling agung itu: bahasa jiwa antara ibu dan anaknya.