Kehendak Baik Ibu, Kehendak Baik Janin: Merawat Tubuh dengan Ukuran Tuhan
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di tengah dunia yang semakin canggih dalam menelanjangi tubuh manusia—melalui alat, diagnosis, dan intervensi yang kian kompleks—masih tersisa satu pertanyaan hakiki: apakah kita sungguh mengenal tubuh kita sebagaimana Sang Pencipta mengenalnya?
Ilmu pengetahuan modern telah lama menyamaratakan tubuh sebagai sistem biologis yang dapat diukur, dibongkar, diperbaiki, bahkan dikustomisasi. Namun, mengapa anak-anak yang lahir dari ayah dan ibu yang sama bisa sangat berbeda? Bentuk wajah, suara tangis, cara memandang dunia—semuanya tak pernah bisa dijelaskan sepenuhnya hanya dengan genetik dan statistik. Karena di balik tubuh ada jiwa. Di balik ukuran ada kehendak. Dan di balik kehendak manusia, ada Kehendak Baik yang berasal dari Tuhan.
Tubuh Ibu, Bait Allah
Bagi seorang ibu hamil, tubuhnya adalah ruang suci. Tidak hanya karena ia sedang mengandung kehidupan lain di dalam dirinya, tetapi karena tubuhnya menjadi tempat dua jiwa saling mendengar dan berbicara. Maka jika tubuh adalah bait Allah, bukankah cara terbaik merawatnya adalah kembali pada Allah?
Ketika mual dan muntah datang di trimester pertama, ibu kerap bertanya: “Kenapa saya begini? Salah makan? Salah pola tidur? Kekurangan vitamin?” Semua pertanyaan itu sah-sah saja. Namun, adakah satu momen kita bertanya pada Sang Pencipta yang menanamkan kehidupan ini: “Apa yang Engkau kehendaki untukku dan anakku?”
Kehendak baik seorang ibu untuk memahami dan mengikuti kehendak baik dari dalam kandungan, sejatinya adalah latihan awal untuk mengenali ukuran Allah atas tubuhnya. Bukan sekadar mencari pemulihan secara medis, tetapi merawat tubuh karena tubuh itu dipercayakan untuk menumbuhkan jiwa lain. Jiwa yang berbeda. Jiwa yang unik. Jiwa yang dikehendaki Allah.
Saat Ilmu Tak Menjawab, Kebaikan Menuntun
Di tengah pengobatan modern yang kian terfokus dan terspesialisasi, seringkali kita kehilangan pandangan menyeluruh tentang tubuh. Jantung yang hanya segenggam didekati dari lima sudut berbeda. Sakit kulit dilihat hanya sebagai kerusakan permukaan, padahal bisa berakar dari ketidakseimbangan batin. Bahkan rahim—tempat kehidupan tumbuh—terkadang menjadi korban keputusan tergesa karena tubuh tak lagi dipahami secara spiritual.
Namun mereka yang mulai belajar untuk hidup dalam ukuran Allah, seperti yang dijalani komunitas SKK selama puluhan tahun, mengalami bahwa kesembuhan tidak selalu hadir dari logika medis. Kehendak baik yang sederhana—seperti memilih untuk tidak menuruti kehendak bebas yang destruktif, tapi memilih kehendak yang membebaskan—menjadi jalan pemulihan sejati.
Kehendak Baik, Pesan dari Janin
Kehendak baik bukan sekadar cita-cita moral. Ia adalah sinyal yang sangat halus, kadang muncul dalam bentuk rasa enggan, mual, tidak nyaman, atau bahkan penolakan terhadap makanan tertentu. Banyak ibu hamil bercerita: “Ketika saya ingin kopi, tapi setiap kali minum, langsung mual. Rasanya seperti bayi saya tidak mengizinkan.”
Itulah komunikasi jiwa yang bersandar pada kehendak baik: janin yang belum lahir pun sudah menunjukkan arah mana yang membebaskan dan mana yang membelenggu. Maka ibu belajar mendengarkan dengan lebih dalam. Bukan hanya dengan telinga, tapi dengan rasa, batin, dan doa.
Kesimpulan: Menjadi Ibu yang Berkehendak Baik
Kehendak baik bukan hanya soal tindakan medis, tapi soal sikap batin dalam menjalani sakit dan sehat. Saat tubuh lemah, tetaplah gunakan telinga untuk mendengar orang yang kita sayangi. Gunakan mata untuk menatap dengan cinta. Gunakan mulut untuk tersenyum meski mual belum reda. Jangan biarkan jiwa kita ikut sakit karena tubuh sedang diuji.
Menjadi ibu adalah memilih kehendak yang membebaskan, bukan yang memberatkan. Mengikuti ukuran Allah atas tubuh dan janin yang dititipkan. Karena ketika seorang ibu berkehendak baik, janin pun tumbuh dalam ruang kasih yang tak terlihat, tapi terasa oleh semesta.