• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
“Beranilah Menjadi Bijaksana, Beranilah Menjadi Suci: Di Tengah Dunia yang Membelokkan Arah Pikiran”

“Beranilah Menjadi Bijaksana, Beranilah Menjadi Suci: Di Tengah Dunia yang Membelokkan Arah Pikiran”

image_pdfimage_print

oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Di tengah arus deras modernitas dan semangat zaman (zeitgeist) yang mengagungkan hal-hal yang tampak dan terukur, muncul sebuah panggilan yang tak lekang oleh waktu: beranilah menjadi bijaksana, beranilah menjadi orang suci. Panggilan ini tidak sekadar religius atau moralistik, tetapi mencerminkan kedalaman eksistensial manusia yang haus makna di balik segala hal yang tampak. Namun, dunia hari ini—dengan segala distraksi, sistem nilai, dan logika pasarnya—seringkali membelokkan arah dari kebijaksanaan menuju informasi, dari kesucian menuju pencitraan, dari kebenaran batiniah menuju realitas kasatmata yang dianggap paling benar.

Antara Kebijaksanaan, Kesucian, dan Keberanian

Menjadi bijaksana bukanlah perkara mengoleksi pengetahuan. Ia adalah kemampuan untuk melihat esensi di balik peristiwa, memilih kebaikan walau pahit, dan bersetia pada kebenaran walau sunyi. Sementara menjadi suci bukan berarti tanpa cela, tetapi memiliki kemurnian hati yang terbuka pada cinta yang lebih tinggi—Tuhan, sesama, dan ciptaan.

Untuk keduanya, diperlukan keberanian. Dunia tidak memberi ruang dengan mudah bagi mereka yang memelihara batin. Dunia lebih cepat memberi panggung bagi yang nyaring, cepat, dan viral. Maka, menjadi bijaksana dan suci di tengah dunia seperti ini bukan hanya soal pilihan, tapi juga perjuangan.

Dunia Membelokkan: Positivisme dan Yang Kasat Mata

Di abad modern dan pasca-modern, berkembang paradigma yang dikenal sebagai positivisme. Akar berpikir ini mengajarkan bahwa hanya sesuatu yang dapat dibuktikan secara empiris—yang dapat diukur, dilihat, dirasa—yang layak disebut sebagai kebenaran. Dunia ilmu pengetahuan modern tumbuh dari akar ini. Namun, ketika positivisme menjadi satu-satunya cara berpikir yang sah, maka segala yang tak tampak menjadi tidak penting: nilai, makna, kesadaran, jiwa.

Berpikir pun menjadi sempit: berani berpikir berarti berani membuktikan secara ilmiah. Bukan lagi tentang kontemplasi batin atau kebijaksanaan yang lahir dari keheningan. Maka jangan heran jika dunia kini membelokkan keberanian berpikir menjadi sekadar keberanian membantah, mendebat, dan menampakkan bukti. Keberanian batiniah menjadi sesuatu yang asing.

Antara Pengetahuan dan Kebijaksanaan

Pengetahuan adalah kemampuan untuk mengetahui apa, sementara kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mengetahui mengapa dan bagaimana harus bersikap. Dunia yang dikuasai positivisme sangat kaya informasi, tetapi seringkali miskin kebijaksanaan. Kita tahu banyak, tetapi belum tentu memahami. Kita cepat menganalisis, tetapi belum tentu bijaksana dalam menyikapi.

Positivisme, dalam wajah ekstremnya, mendegradasi kebenaran menjadi sebatas fakta. Tapi manusia tidak hanya hidup dari fakta, tetapi juga dari makna. Dan makna seringkali tidak kasat mata. Ia tersembunyi dalam diam, dalam doa, dalam cinta, dalam penderitaan yang dijalani dengan kesabaran, dan dalam keberanian menjadi “tidak seperti dunia”.

Kesimpulan: Memulihkan Keberanian Menjadi Dalam

Beranilah menjadi bijaksana. Beranilah menjadi suci. Ini bukanlah seruan kuno yang usang, tetapi justru panggilan yang paling relevan saat ini. Dunia yang menyempitkan makna hidup menjadi statistik dan grafik membutuhkan jiwa-jiwa yang mendalam—yang berani melihat melampaui yang tampak. Mereka yang tidak mudah dibelokkan oleh trend, namun menanam akar dalam kebajikan, kasih, dan pencarian spiritual yang otentik.

Pada akhirnya, mungkin kita tidak bisa melawan arus dunia yang membelokkan. Tapi kita bisa tetap berdiri tegak di tengah arus itu—dengan keberanian yang diam, namun berakar dalam: menjadi bijaksana, menjadi suci.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *