“5-O” Dunia Medis: Ketika Manusia Dijadikan Objek oleh Sistem Kesehatan Modern
Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Pendahuluan: Medis Modern dan Krisis Makna
Kemajuan teknologi kedokteran dalam beberapa dekade terakhir menghadirkan paradoks: di satu sisi mampu menyelamatkan banyak nyawa, namun di sisi lain menimbulkan kecenderungan baru yang mengkhawatirkan — overdiagnosis dan overtreatment. Dunia medis modern tampaknya kian berpaling dari pendekatan holistik dan relasional ke arah dataisme medis: melihat manusia sebagai kumpulan angka, hasil lab, dan gambar digital. Hal ini bukan hanya mengancam prinsip kemanusiaan dalam pengobatan, tetapi juga mengubah manusia dari subjek otonom menjadi objek intervensi.
Definisi dan Realitas “Over” Medis
1. Overdiagnosis
Overdiagnosis terjadi ketika seseorang didiagnosis memiliki kondisi atau penyakit yang sebenarnya tidak akan pernah menimbulkan gejala atau kematian selama hidupnya. Dalam studi yang dimuat di BMJ (2015), ditemukan bahwa dalam skrining kanker payudara, hampir 31% kasus terklasifikasi sebagai overdiagnosis — artinya, pasien dirawat untuk kondisi yang sebenarnya tidak membahayakan.
2. Overtreatment
Akibat dari overdiagnosis adalah overtreatment: pemberian terapi medis, termasuk obat-obatan, tindakan operasi, dan prosedur invasif lain, yang sebenarnya tidak diperlukan. Dalam Journal of the American Medical Association (JAMA), dilaporkan bahwa overtreatment menyumbang beban ekonomi dan risiko komplikasi medis yang tidak proporsional.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik: Seni yang Mulai Terlupakan
Secara klasik, diagnosis medis bertumpu pada tiga pilar: anamnesis (wawancara pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (lab, imaging, dsb.). Namun kini, yang sering terjadi adalah inversi: laboratorium dan teknologi menjadi rujukan utama, sementara anamnesis dan pemeriksaan fisik hanya pelengkap — jika tidak diabaikan sama sekali.
Hal ini sangat kontras dengan prinsip-prinsip lama kedokteran, di mana hubungan dokter-pasien bersifat personal dan empatik. Dalam riset oleh Harvard Medical School (2018), dokter yang melakukan anamnesis mendalam dan empatik lebih berhasil dalam menemukan diagnosis akurat dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan hasil lab.
Kritik terhadap Medis Modern: Istilah “5-O”
Dalam perbincangan kritis dunia medis kontemporer, istilah “5-O” muncul sebagai kritik tajam terhadap kecenderungan overmedikalisasi. Berikut penjelasannya:
- Obat
Segala keluhan dikembalikan pada resep. Solusi instan tanpa melihat konteks hidup dan kondisi psiko-emosional pasien. - Opname
Seringkali pasien dirawat inap tanpa indikasi kuat, hanya karena rekomendasi sistem atau kekhawatiran medis yang berlebihan. - Operasi
Tindakan bedah yang sebenarnya dapat ditangani konservatif, namun dilakukan karena tekanan sistem, prosedur standar, atau insentif ekonomi. - Ongkos
Beban biaya yang harus ditanggung pasien kian besar, menciptakan ketimpangan akses layanan antara kelompok kaya dan miskin. - OMG (Oh My God!)
Ekspresi kejut dan frustrasi pasien atau keluarga saat mengetahui biaya pengobatan, terutama di rumah sakit swasta atau dalam kondisi darurat.
Dampak Psiko-Sosial: Ketika Subjek Menjadi Objek
Dalam paradigma medis modern, manusia kian direduksi menjadi “kasus” dan “data statistik”. Paradigma ini disebut biomedik reduksionis: segala sesuatu diukur dari komponen biologis dan parameter laboratorium.
Padahal setiap manusia itu unik. Tubuh manusia bukan mesin, dan penyakit tidak hanya berakar dari gangguan fisiologis, tetapi juga dari trauma, relasi, kondisi mental, bahkan spiritual. Ketika pasien dijadikan objek — bukan subjek — maka hubungan manusiawi terputus, dan pengobatan menjadi kering secara makna.
Bukti Ilmiah: AI dan Statistik Menyingkirkan Konteks
Hadirnya Artificial Intelligence (AI) semakin memperkuat kecenderungan ini. AI mengambil keputusan berdasarkan data statistik global — bukan konteks unik tiap individu. Sebuah artikel di The Lancet Digital Health (2022) menyatakan bahwa model prediktif AI dalam diagnosa penyakit jantung ternyata gagal menangkap variasi biologis dan sosial dari pasien di negara berkembang.
Sebagaimana disampaikan oleh Hubert Dreyfus, filsuf teknologi dari Berkeley, AI tidak akan pernah bisa memahami konteks emosional dan eksistensial manusia — karena tidak memiliki situated understanding. Inilah yang menjadi batas keras teknologi dalam menyentuh kebijaksanaan manusia.
Panggilan untuk Kembali pada Kemanusiaan
Bukan berarti laboratorium dan teknologi harus disingkirkan. Justru sebaliknya: alat-alat ini harus dikembalikan pada tempatnya sebagai penunjang, bukan penentu utama. Diagnosis harus berangkat dari dialog — dari kepercayaan, empati, dan keterbukaan antara dokter dan pasien.
Dalam pendekatan narrative medicine, misalnya, pasien didengar bukan hanya sebagai pembawa gejala, tetapi sebagai manusia utuh dengan cerita, luka, harapan, dan spiritualitas. Inilah pendekatan yang mendengarkan hati, bukan hanya melihat hasil scan.
Penutup: Medis Masa Depan Butuh Jiwa, Bukan Hanya Data
Kita sedang menghadapi bahaya diam-diam: sistem kesehatan yang kehilangan jiwa. Ketika algoritma menjadi hakim utama, ketika laboratorium menggantikan percakapan, dan ketika biaya menentukan nasib pasien — maka yang hilang adalah kemanusiaan.
Istilah “5-O” bukan sekadar kritik. Ia adalah seruan untuk meninjau ulang sistem kesehatan global. Karena sejatinya, teknologi diciptakan untuk melayani manusia — bukan untuk menggantikannya sebagai pusat kehidupan.
Dunia medis masa depan tidak hanya butuh kecanggihan, tetapi juga keberanian untuk melihat pasien sebagai jiwa yang unik, bukan sekadar angka dalam sistem.
Referensi:
- Welch, H. G., Schwartz, L. M., & Woloshin, S. (2011). Overdiagnosed: Making People Sick in the Pursuit of Health. Beacon Press.
- Dreyfus, H. (1992). What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason. MIT Press.
- Greenhalgh, T., & Hurwitz, B. (1998). Narrative Based Medicine. BMJ Books.
- The Lancet Digital Health (2022). “Limitations of Predictive AI in Cardiovascular Medicine.”
- BMJ 2015; 350: g7785. doi:10.1136/bmj.g7785