• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Cinta yang Menghidupkan: Saat Jiwa Ibu dan Janin Berbicara

Cinta yang Menghidupkan: Saat Jiwa Ibu dan Janin Berbicara

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Kehamilan adalah lebih dari sekadar proses biologis. Ia adalah peristiwa cinta yang hidup, tempat jiwa ibu dan jiwa janin saling berbicara dalam keheningan, jauh sebelum kata pertama terucap.

Di masa ini, cinta bukan sekadar romantisme. Ia menjadi energi pencipta kehidupan. Janin tidak hanya tumbuh dari makanan dan oksigen, tapi dari getaran cinta, sukacita, dan doa-doa diam-diam yang mengalir dari hati ibunya.

Menjadi Orang Tua Dimulai dari Jatuh Cinta

Manusia tidak seperti hewan yang melahirkan karena naluri. Manusia dipanggil untuk jatuh cinta lebih dulu sebelum menciptakan kehidupan. Karena cinta sejati bukan sekadar dorongan tubuh, tapi penyerahan jiwa.

Dalam cinta yang tulus, ada keinginan untuk memberi diri, untuk menyambut jiwa baru yang dipercayakan Tuhan. Jiwa itu datang bukan sebagai hak, tapi sebagai anugerah yang harus diasuh dengan kasih, bukan dengan perhitungan untung-rugi.

Cinta Tidak Bisa Diukur dengan Pikiran

Cinta sejati hidup di dalam hati, bukan di dalam otak. Ketika cinta dibawa ke ruang logika, ia segera dikerdilkan menjadi kalkulasi: “Apakah ini menguntungkan bagiku?” “Apakah aku masih bahagia?” “Apakah dia lebih baik dari pasanganku sekarang?”

Namun, cinta yang hidup bertumbuh bukan karena segalanya mudah, melainkan karena ada kesediaan untuk tetap tinggal dan bertumbuh bersama, bahkan di tengah luka dan tantangan.

Energi Cinta yang Dirasakan Janin

Seorang janin belum bisa berpikir, tapi jiwanya hidup dan peka. Ia bisa merasakan:

  • apakah ibunya bersyukur atau mengeluh,
  • apakah ibunya memeluk atau menolak kehadirannya,
  • apakah ibunya hidup dalam damai atau dalam ketegangan.

Janin menggunakan pancaindra ibunya sebagai pintu komunikasi. Ia mengenal dunia melalui getaran tubuh ibu, suasana batin ibu, dan bahkan nada suara orang-orang di sekitarnya. Maka, rahim bukan hanya tempat tumbuhnya tubuh, tapi juga tempat tumbuhnya jiwa.

Menumbuhkan Cinta yang Bertumbuh, Bukan Sekadar Bertahan

Cinta tidak boleh dibiarkan stagnan. Seperti api, ia harus dijaga agar tidak padam. Seperti tanaman, ia harus disiram setiap hari. Sayangnya, setelah menikah, banyak pasangan berhenti merawat cinta. Mereka berpikir, “Kami sudah menikah, sudah cukup.”

Padahal cinta justru harus terus-menerus dipupuk, dipelihara, dan ditumbuhkan.
Kalau tidak, rumah yang dulu hangat bisa berubah dingin. Sentuhan yang dulu erat bisa menjadi canggung. Senyum yang dulu mudah diberikan bisa berubah menjadi diam tanpa makna.

Dan ketika cinta tidak bertumbuh, janin pun bisa merasakan “dinginnya” itu. Jiwa yang seharusnya berkembang dalam kehangatan justru tumbuh dalam kebingungan dan keringnya emosi.

Cinta yang Bertumbuh Adalah Kecerdasan Hati

Kecerdasan cinta bukan soal pendidikan tinggi, gelar, atau IQ. Menjadi orang tua bukanlah profesi ilmu, tetapi profesi kasih. Di rumah, yang dibutuhkan bukan kecerdasan otak, tetapi kecerdasan hati:

  • kemampuan untuk bersabar tanpa mengeluh,
  • memberi tanpa pamrih,
  • hadir tanpa banyak bicara,
  • memaafkan tanpa menunggu permintaan maaf.

Itulah yang akan dirasakan oleh janin. Ia sedang belajar tentang cinta melalui apa yang ibunya hidupkan setiap hari.

Doa: Ruang Pertemuan dengan Cinta yang Lebih Besar

Ketika tubuh lelah dan emosi rapuh, doa menjadi ruang pertemuan yang paling jujur. Di sana, ibu tidak sendirian. Ia menyadari bahwa cinta sejatinya bukan hanya dari dirinya, tetapi juga dari Sang Pemilik Jiwa.

Dalam doa, cinta tidak hanya bertahan, tetapi diperbarui dan dikuatkan. Ibu yang berdoa bukan hanya menguatkan dirinya sendiri, tetapi juga menjadi saluran kekuatan bagi jiwa anak yang dikandungnya.

Penutup: Merawat Jiwa, Merawat Cinta, Merawat Kehidupan

Kehamilan adalah panggilan untuk menghidupkan cinta setiap hari. Cinta bukan hanya yang menciptakan kehidupan, tetapi juga yang menjaga kehidupan tetap bermakna.

Jiwa janin yang hari ini sedang berkembang di dalam rahim, sedang belajar dari setiap senyuman ibunya, dari setiap kelembutan ayahnya, dan dari setiap langkah cinta yang nyata—meski tak terlihat.

Dan di situlah komunikasi jiwa yang sesungguhnya terjadi.
Tanpa kata, tanpa suara, tapi begitu kuat dan tak terlupakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *