• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Gangguan Jiwa yang Dimulai Sejak dalam Kandungan: Sebuah Krisis yang Terlupakan

Gangguan Jiwa yang Dimulai Sejak dalam Kandungan: Sebuah Krisis yang Terlupakan

image_pdfimage_print

Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG


Abstrak

Gangguan jiwa selama ini dipahami sebagai akibat dari ketidakseimbangan neurokimia atau faktor lingkungan setelah kelahiran. Namun, pendekatan ini sering melupakan akar terdalamnya: jiwa yang tidak bertumbuh sejak awal kehidupan, bahkan sejak masa intrauterin. Artikel ini menyajikan pendekatan baru yang menyatukan perspektif obstetrik, neuropsikologi, dan spiritualitas untuk menelaah bahwa banyak gangguan jiwa berakar dari kegagalan manusia untuk mendengarkan dan merawat jiwa sejak dalam kandungan. Dengan mengangkat dimensi kasih sebagai instrumen pertumbuhan jiwa, artikel ini menawarkan refleksi mendalam dan landasan untuk pendekatan pencegahan serta penyembuhan gangguan jiwa yang lebih utuh dan manusiawi.


1. Pendahuluan: Gangguan Jiwa sebagai Krisis Peradaban

Gangguan jiwa bukan hanya permasalahan individu, tetapi cerminan dari kondisi kolektif peradaban yang telah lama mengabaikan dimensi terdalam manusia: jiwa. Banyak pendekatan medis modern menitikberatkan pada otak, neurotransmitter, atau faktor sosial lingkungan. Namun, hal yang lebih mendasar—yaitu proses pembentukan dan pertumbuhan jiwa—sering kali luput dari perhatian.

Dalam era yang didominasi logika produktivitas dan mekanisasi manusia, gangguan jiwa tidak lagi sekadar kasus medis, melainkan sebuah krisis eksistensial yang lahir dari keterputusan manusia dengan jati dirinya. Untuk itu, pendekatan gangguan jiwa harus dikembalikan pada akarnya: perawatan jiwa sejak awal kehidupan.


2. Jiwa sebagai Inti Keutuhan Manusia

Dalam banyak tradisi filosofis dan spiritual, jiwa merupakan dimensi terdalam yang menjadi pusat identitas manusia. Jiwa bukan sekadar entitas abstrak, melainkan pusat kesadaran, kehendak, dan rasa yang memediasi tubuh dan makna hidup. Jiwa tidak dapat dipisahkan dari proses biologis maupun relasi sosial.

Namun, dalam realitas kehidupan kontemporer, jiwa kerap dikorbankan demi konstruksi sosial: standar kesuksesan, ekspektasi keluarga, serta pendidikan yang membentuk manusia bukan menjadi dirinya, melainkan menjadi seperti yang diinginkan oleh orang lain. Kegagalan untuk menjadi diri sendiri ini merupakan akar gangguan jiwa yang sesungguhnya.


3. Masa Kandungan: Titik Awal Kerentanan Jiwa

Penelitian mutakhir dalam bidang epigenetika dan neuropsikologi menunjukkan bahwa pengalaman emosional ibu selama kehamilan berpengaruh besar terhadap perkembangan otak dan sistem saraf janin. Stres, trauma, ketidakstabilan emosional, serta absennya relasi kasih selama masa kehamilan dapat meninggalkan “jejak biologis” pada janin. Namun, lebih dari itu, ketiadaan pengalaman kasih di masa intrauterin juga mengganggu pertumbuhan dan integrasi jiwa janin.

Jiwa yang tumbuh dalam suasana penuh kasih akan lebih mudah menemukan identitasnya. Sebaliknya, jiwa yang lahir dalam ketegangan dan penolakan cenderung kehilangan orientasi sejak awal. Inilah bibit dari gangguan kejiwaan yang tidak selalu terlihat saat bayi lahir, tetapi dapat mekar sebagai gangguan kepribadian, kecemasan, depresi, atau bahkan penyimpangan psikoseksual di kemudian hari.


4. Konstruksi Sosial dan Jiwa yang Tersesat

Setelah lahir, jiwa manusia terus dibentuk oleh sistem sosial. Namun, alih-alih menumbuhkan keunikan diri, banyak struktur sosial justru membentuk individu agar seragam dan patuh terhadap norma kolektif. Sistem pendidikan, keluarga, bahkan agama, sering tanpa sadar menekan ekspresi diri yang otentik.

Fenomena ini mendorong lahirnya apa yang dapat disebut sebagai “gangguan jiwa sosial”: kondisi di mana individu hidup bukan berdasarkan jati dirinya, tetapi untuk memenuhi standar luar. Dalam masyarakat seperti ini, gangguan jiwa menjadi sesuatu yang masif, tersembunyi di balik prestasi, gelar, atau keberhasilan sosial, namun merayap sebagai kecemasan eksistensial, krisis makna, dan keletihan spiritual.


5. Ketimpangan Penanganan Medis: Mengontrol Bukan Menyembuhkan

Model perawatan gangguan jiwa saat ini cenderung bersifat simptomatik dan represif. Penggunaan obat penenang, terapi kejut, hingga sistem karantina medis dalam rumah sakit jiwa dilakukan dengan maksud baik: menenangkan gejala. Namun sering kali, cara-cara ini justru memperdalam luka jiwa karena tidak menyentuh akarnya.

Jiwa yang terluka tidak butuh dikontrol, melainkan diterima dan dipulihkan. Pendekatan represif seringkali membuat pasien merasa lebih terasing, lebih tidak dimengerti, dan makin jauh dari jati dirinya. Justru dalam kebebasan yang penuh kasih—bukan kekangan—jiwa memiliki ruang untuk mengenal dan memulihkan dirinya.


6. Kasih sebagai Instrumen Pertumbuhan Jiwa

Dalam setiap tahap kehidupan, jiwa hanya dapat bertumbuh dalam suasana kasih. Kasih bukan hanya emosi, tetapi merupakan struktur relasional yang mengandung:

  • Penerimaan tanpa syarat,
  • Kehadiran yang utuh,
  • Kemurahan hati untuk membiarkan seseorang menjadi dirinya,
  • Kesediaan untuk menuntun tanpa mengendalikan.

Kasih bukan sekadar sikap etis, tapi merupakan satu-satunya medium tempat jiwa dapat hidup dan menemukan kembali dirinya yang terluka. Dalam kasih, manusia tidak dipaksa menjadi normal, tetapi diberi ruang untuk menjadi utuh.


7. Dari Hulu ke Hilir: Membangun Ekologi Jiwa

Pencegahan gangguan jiwa yang paling efektif adalah dengan membangun ekologi kasih sejak masa prenatal. Ini mencakup:

  • Kesadaran ibu dan ayah selama kehamilan bahwa mereka tidak hanya membentuk tubuh, tapi juga menerima jiwa baru ke dunia.
  • Pendidikan yang menumbuhkan potensi, bukan hanya mengukur kecerdasan kognitif.
  • Masyarakat yang memberi ruang untuk keberagaman ekspresi jiwa.
  • Pendekatan medis yang bersifat dialogis, bukan diagnostik semata.

Jika kita ingin menyembuhkan dunia dari krisis mental dan spiritual, kita harus mengembalikan perhatian utama pada jiwa—bukan hanya pada tubuh atau hasil.


Penutup: Jiwa Adalah Tanggung Jawab Bersama

Gangguan jiwa bukan hanya kegagalan pribadi, melainkan refleksi kegagalan kolektif untuk mencintai. Kita hidup dalam peradaban yang mengabaikan jiwa, memuliakan performa, dan menyanjung standar eksternal. Maka, tak heran jika gangguan jiwa menjadi epidemi tersembunyi.

Kini saatnya merevolusi cara kita memandang manusia: bukan sebagai makhluk yang harus dikendalikan, tapi sebagai jiwa yang perlu dikasihi dan dituntun untuk menjadi dirinya yang sejati. Pencegahan dimulai sejak rahim, penyembuhan dimulai dari kasih.

Daftar Pustaka

  1. Beijers, R., Buitelaar, J. K., & de Weerth, C. (2014). Mechanisms underlying the effects of prenatal psychosocial stress on child outcomes: Beyond the HPA axis. European Child & Adolescent Psychiatry, 23(10), 943–956. https://doi.org/10.1007/s00787-014-0566-3
  2. Yehuda, R., Daskalakis, N. P., Desarnaud, F., et al. (2016). Epigenetic biomarkers as predictors and correlates of symptom improvement following psychotherapy in combat veterans with PTSD. Frontiers in Psychiatry, 7, 28. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2016.00028
  3. Monk, C., Lugo-Candelas, C., & Trumpff, C. (2019). Prenatal developmental origins of future psychopathology: Mechanisms and pathways. Annual Review of Clinical Psychology, 15, 317–344. https://doi.org/10.1146/annurev-clinpsy-050718-095539
  4. Schore, A. N. (2021). The Development of the Unconscious Mind. Norton Series on Interpersonal Neurobiology. W. W. Norton & Company.
  5. van den Bergh, B. R. H., Mulder, E. J. H., Mennes, M., & Glover, V. (2005). Antenatal maternal anxiety and stress and the neurobehavioural development of the fetus and child: Links and possible mechanisms. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 29(2), 237–258. https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2004.10.007
  6. Siegel, D. J. (2020). The Developing Mind: How Relationships and the Brain Interact to Shape Who We Are (3rd ed.). Guilford Press.
  7. Porges, S. W. (2011). The Polyvagal Theory: Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and Self-Regulation. W. W. Norton & Company.
  8. Zahavi, D. (2020). Phenomenology: The Basics. Routledge.
  9. Gopnik, A., Meltzoff, A. N., & Kuhl, P. K. (2019). The Scientist in the Crib: What Early Learning Tells Us About the Mind. Harper Perennial.
  10. Maté, G. (2022). The Myth of Normal: Trauma, Illness, and Healing in a Toxic Culture. Avery Publishing.
  11. Oberlander, T. F., & Weinberg, J. (2008). Pediatric Pain, Fear, and Anxiety: Translating Research into Practice. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, 29(5), 389–393. https://doi.org/10.1097/DBP.0b013e318182a78e
  12. Harari, Y. N. (2016). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harper.
  13. Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage Books.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *