Hati Yesus dan Hati Maria: Jalan Kembali pada Kecerdasan Jiwa

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Dalam tradisi Kristiani, dua simbol suci terus dihadirkan dalam doa, lukisan, dan devosi umat: Hati Kudus Yesus dan Hati Tak Bernoda Bunda Maria. Namun, di balik simbol itu tersembunyi makna yang amat dalam — bukan hanya lambang kasih, melainkan undangan untuk hidup dari hati, bukan sekadar dari pikiran.

1. Hati sebagai pusat kehidupan rohani

Dalam bahasa Kitab Suci, “hati” bukan sekadar organ jasmani. Ia adalah pusat kesadaran manusia — tempat bersatunya kehendak, cinta, dan kebijaksanaan. Dari hati, manusia mengenali suara Allah. Dari hati pula lahir keputusan untuk mencintai atau menolak kasih itu.

Yesus sendiri menghidupi hati-Nya sebagai sumber cinta yang tanpa batas. Ia tidak mencintai dengan pikiran yang menimbang-nimbang untung dan rugi, tetapi dengan hati yang terbuka untuk terluka. Hati-Nya adalah lambang dari kasih yang memilih untuk menderita demi menyelamatkan.

Ketika hati-Nya ditikam di salib, itu bukan sekadar peristiwa fisik. Itu adalah pembukaan total diri Allah kepada manusia, agar manusia kembali mengenal cinta yang sejati — cinta yang tidak berhenti meski disakiti.

2. Hati Maria: ketaatan tanpa analisa

Bunda Maria adalah cermin dari manusia yang hidup sepenuhnya dari hati. Ketika malaikat datang membawa kabar ilahi, Maria tidak menuntut penjelasan, tidak menimbang risiko, tidak menganalisa masa depan. Ia hanya menjawab:
“Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.”

Kata sederhana itu adalah puncak dari kecerdasan jiwa — kecerdasan yang mendengarkan dan mengikuti alur cinta Tuhan tanpa perhitungan. Maria tidak memahami segalanya dengan akal, namun hatinya mengenali kebenaran yang datang dari Allah.

Ketaatan Maria bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang lahir dari keutuhan batin. Ia membiarkan hidupnya menjadi ruang bagi karya Tuhan tanpa harus mengendalikan hasilnya.

3. Dua hati yang berdetak dalam satu irama

Yesus dan Maria, dua hati yang berbeda namun seirama dalam kasih.
Yesus mengasihi dengan memberi diri sepenuhnya,
Maria mengasihi dengan menyerahkan diri sepenuhnya.

Kasih yang memberi dan kasih yang menyerah — keduanya menjadi satu gerak harmoni rohani. Dari dua hati ini kita belajar bahwa iman bukan sekadar berpikir benar, tetapi hidup benar dari dalam hati.

Ketika dunia modern memuja akal, analisa, dan keseragaman, dua hati ini mengajak manusia kembali kepada yang sederhana: mendengarkan, mempercayai, dan mengikuti suara kasih di dalam diri.

4. Gereja dan panggilan untuk mendengarkan hati

Gereja memiliki devosi yang kaya kepada Hati Yesus dan Hati Maria, namun sering kali hanya berhenti pada ritual dan simbol. Padahal maknanya jauh lebih mendalam: sebuah ajakan untuk menghidupkan kembali kecerdasan hati — kemampuan untuk mengenali kebenaran dari dalam, bukan hanya dari ajaran luar.

Hati Yesus dan Hati Maria adalah dua wajah dari satu cinta yang sama:

  • Yesus mengajarkan kasih yang berani terluka demi keselamatan.
  • Maria mengajarkan ketaatan yang tenang dan penuh kepercayaan.

Dua hati ini memanggil kita untuk berdialog kembali dengan jiwa sendiri. Untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk pikiran dan membiarkan hati berbicara. Karena di sanalah Tuhan tinggal, bukan di analisa kita, tetapi di keheningan batin yang percaya.

5. Hati yang menghidupi

Ketika manusia belajar dari Yesus dan Maria, ia menemukan bahwa hati bukan sekadar perasaan, tetapi sumber kehidupan yang menghidupi. Dari hati mengalir cinta, pengampunan, dan kebijaksanaan sejati.

Maka, mengikuti hati Yesus dan hati Maria bukan berarti meninggalkan akal budi, melainkan menempatkannya di bawah bimbingan jiwa. Pikiran bekerja dengan terang, tetapi hati menuntun arah.

Karena pada akhirnya, manusia tidak dipanggil untuk sekadar berpikir tentang Tuhan —
melainkan untuk merasakan, mengalami, dan menghidupi kasih Tuhan di dalam hatinya sendiri.