• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Hiperemesis Gravidarum: Ketika Janin Ikut Menangis Bersama Ibu

Hiperemesis Gravidarum: Ketika Janin Ikut Menangis Bersama Ibu

image_pdfimage_print

Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Setelah lebih dari tiga dekade menjalani praktik sebagai dokter kandungan, saya belajar bahwa tidak semua gejala dalam kehamilan bisa dijelaskan secara medis. Beberapa gejala justru adalah bahasa. Bahasa yang rumit, tapi sangat jujur. Salah satunya adalah hiperemesis gravidarum, mual muntah berlebihan yang membuat ibu hamil seolah kehilangan kontrol atas tubuh dan kehidupannya.

Dalam buku kedokteran, hiperemesis gravidarum diklasifikasikan sebagai gangguan yang bersumber dari ketidakseimbangan hormon, infeksi, atau gangguan pencernaan. Tapi dalam praktik sehari-hari, saya menemukan bahwa hiperemesis bukan sekadar penyakit fisik. Ia adalah percakapan yang lebih dalam: antara tubuh, jiwa, dan janin.


Hiperemesis Bukan Hanya Masalah Lambung

Banyak pasien datang dengan keluhan mual dan muntah yang tak kunjung reda. Mereka telah mencoba berbagai obat, infus, bahkan rawat inap berkali-kali, namun gejala kembali datang. Apa yang sebenarnya terjadi?

Dalam pengamatan saya, hiperemesis gravidarum sering kali merupakan kombinasi dari tiga hal:

  1. Gangguan fisik – seperti perih lambung, gastritis, atau ketidakseimbangan hormonal.
  2. Respons janin terhadap kondisi ibu – janin yang bereaksi karena “merasakan” ketidakseimbangan tubuh ibunya.
  3. Empati janin terhadap penderitaan ibunya – ini yang paling mengejutkan, namun sering terbukti: janin ikut ‘protes’ atau ‘bersedih’ saat sang ibu tidak sehat, baik secara fisik maupun psikis.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana ibu-ibu yang kelelahan secara batin, mengalami tekanan mental, atau menolak kondisi kehamilannya, menjadi lebih rentan mengalami hiperemesis. Dan yang lebih mengejutkan, janin seperti merespons—seolah-olah berkata: “Ibu, aku tidak nyaman di dalam tubuhmu yang sedang kacau.”


Janin Bisa Menangis, Tapi Lewat Tubuh Ibu

Saya tidak berbicara secara mistik. Saya bicara berdasarkan pengalaman panjang. Seorang ibu yang sedang mengalami konflik rumah tangga, kehilangan pekerjaan, atau belum berdamai dengan kehamilannya, sering menunjukkan gejala hiperemesis yang parah. Saat kondisinya membaik secara emosional, mual muntahnya perlahan hilang—tanpa pengobatan khusus.

Dalam kasus seperti ini, janin bukanlah objek pasif. Ia adalah subjek yang ikut terlibat dalam dinamika batin ibu. Ia mungkin belum bisa menangis, tapi ia ‘menangis’ lewat tubuh ibunya.


Pendekatan Medis Tidak Cukup

Obat memang penting. Infus kadang diperlukan. Tapi saya harus jujur: pengobatan medis saja sering tidak menyentuh akar dari hiperemesis. Kita perlu menyelami lapisan terdalam: suasana batin ibu, makanan yang dikonsumsi, dan kondisi spiritual di sekitarnya.

Saya mulai mengembangkan pendekatan menyeluruh yang saya sebut: “medis–jiwa–relasi”. Pendekatan ini menggabungkan:

  • Pemeriksaan dan pengobatan fisik yang tepat, untuk memastikan tidak ada infeksi, gangguan lambung, atau kelainan metabolik.
  • Dialog reflektif dengan ibu, untuk membantu ia mengenali ketegangan, ketakutan, atau luka batin yang tersembunyi.
  • Pemurnian pola makan, bukan hanya soal gizi, tapi soal nilai: apakah makanan itu membawa damai bagi tubuh dan janin?
  • Membangun suasana batin yang mendukung, lewat doa, dukungan pasangan, dan pendampingan yang penuh cinta.

Racun Tubuh dan Racun Jiwa

Saya menyebut dua penyebab utama hiperemesis yang jarang dibahas dalam jurnal medis: racun tubuh dan racun jiwa.

  • Racun tubuh adalah makanan atau zat konsumsi yang sebenarnya tidak cocok atau bahkan berbahaya bagi tubuh ibu dan janin.
  • Racun jiwa adalah emosi negatif, luka relasi, ketakutan, atau tekanan sosial yang menggerogoti keutuhan batin ibu.

Ketika ibu tetap memaksakan makanan yang tidak sesuai, atau hidup dalam tekanan jiwa yang tidak ia sadari, janin bisa bereaksi. Ia menolak, dan kadang caranya menolak adalah dengan membuat tubuh ibunya terus-menerus muntah.


Suara Jiwa dan Solusi yang Bersahabat

Dalam beberapa kasus, saya hanya duduk diam bersama pasien, mendengarkan ceritanya, membiarkannya menangis. Anehnya, setelah sesi itu, banyak yang merasa jauh lebih baik. Seolah mualnya ikut mengalir keluar bersama air mata.

Inilah yang saya pelajari: penyembuhan bukan hanya soal resep obat, tapi juga ruang untuk jujur, hadir, dan diterima.
Dan janin, seperti halnya ibu, juga butuh rasa damai.


Penutup: Hiperemesis adalah Panggilan untuk Mendengar Lebih Dalam

Hari ini, saya tidak lagi hanya melihat hiperemesis sebagai penyakit yang harus dihentikan. Saya melihatnya sebagai sinyal, panggilan, bahkan undangan—agar ibu berhenti sejenak, mendengar tubuhnya, mendengar jiwanya, dan mendengar suara lembut dari dalam rahimnya.

Karena kadang, janin hanya ingin berkata:

“Ibu, aku ingin kita baik-baik saja. Tapi aku butuh tubuh dan jiwamu jadi tempat yang damai untukku tumbuh.”

Dan mungkin, itu lebih menyembuhkan daripada segudang obat di dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *