
Ilmu Itu Hamba Jiwa: Ketika Sains Harus Belajar Berlutut
Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di zaman ini, segalanya ingin dibuktikan. Dihitung. Dikalkulasi. Semua ditakar dengan meteran akal dan ditimbang dengan neraca laboratorium. Lalu… ketika kita bertanya tentang jiwa, orang tertawa. “Apa buktinya? Di mana tempatnya? Mana datanya?”
Dan di situlah dunia kita mulai kehilangan cahaya.
Karena ketika jiwa ditertawakan, sebenarnya kita sedang tertawa pada diri kita sendiri.
Ilmu yang Tumbuh Tapi Tersesat
Ilmu pengetahuan hari ini seperti anak muda cerdas yang berhasil memanjat puncak gunung tertinggi… lalu mendapati bahwa ia mendaki gunung yang salah. Ia tahu banyak, tapi tidak lagi tahu siapa dirinya.
Ia bisa menciptakan bayi dari tabung, tapi lupa bagaimana cara menyambut jiwa dengan cinta. Ia bisa menjelaskan hormon cinta, tapi gagap menjelaskan mengapa doa ibu mampu meredakan kegelisahan janin dalam kandungan.
Inilah zaman pikiran menjadi raja, dan jiwa dibuang ke pengasingan.
Kita Lupa: Ilmu Bukan Tuhan
Pernah, dalam sejarah teologi, para filsuf tahu diri: mereka menyebut filsafat sebagai ansila theologiae—hamba dari teologi. Ia bukan pengganti Tuhan, ia hanya pelayan yang membantu menjelaskan misteri kehadiran-Nya dengan logika yang terbatas.
Kini, waktunya kita ingatkan kembali: ilmu pengetahuan adalah ansila dari jiwa. Ilmu bukan Tuhan. Ia tidak menciptakan cinta. Ia tidak tahu rasanya dikhianati, atau indahnya dimaafkan. Ia hanya tahu bagaimana, tapi tak tahu mengapa. Ia tahu urutan proses, tapi tidak mengerti makna peristiwa.
Jiwa: Majikan yang Terlupakan
Coba perhatikan ibu hamil yang menangis di tengah malam. Ia tahu tubuhnya mual bukan hanya karena hormon. Ia tahu ada yang sedang berkomunikasi di dalam rahimnya. Bukan dengan kata, tapi dengan getaran. Dengan rasa. Dengan jiwa.
Ilmu bisa menuliskan kata “oksitosin” dan “kortisol” di papan tulis. Tapi hanya jiwa yang bisa memahami bahwa bayi dalam kandungan menolak energi benci ibunya. Bahwa mual adalah suara jiwa yang sedang meminta ruang.
Ilmu adalah alat. Tapi jiwa adalah pemilik rumah.
Menjadi Ansila: Bukan Rendah, Tapi Mulia
Dalam budaya yang suka hirarki, kata “hamba” terdengar hina. Tapi sesungguhnya, menjadi pelayan kebenaran adalah posisi termulia. Filsafat menjadi agung karena ia melayani iman. Maka ilmu pun akan menjadi luhur, jika ia tahu siapa yang harus ia layani: jiwa manusia.
Bayangkan jika semua ilmu—kedokteran, pendidikan, psikologi, kebidanan, teknologi—semua tunduk melayani pertumbuhan jiwa. Dunia akan berubah:
- Sekolah tak hanya mencetak nilai, tapi menumbuhkan cinta diri.
- Rumah sakit tak hanya menyembuhkan penyakit, tapi menyembuhkan luka batin.
- Praktik kebidanan tak hanya mendeteksi detak jantung janin, tapi juga menyambut jiwa dari surga yang sedang mencari rumah cinta.
Kita Bukan Mesin, Kita Jiwa yang Bertumbuh
Mari kita ulangi pelan-pelan: manusia adalah jiwa berbadan. Bukan sebaliknya.
Tubuh adalah baju. Ilmu adalah alat. Tapi jiwa—jiwa adalah inti. Titik pusat. Rumah Tuhan yang kecil dalam diri kita.
Dan tugas pikiran bukan meragukan jiwa. Tapi menghormatinya. Menjelaskannya. Menjadi penafsir yang setia dari bisikan batin yang tak terdengar oleh alat laboratorium.
Akhirnya: Saat Ilmu Tahu Diri, Jiwa Pulang ke Rumahnya
Jika kelak ilmu bersedia berlutut, bukan karena ia kalah, tapi karena ia sadar: di hadapan jiwa, ia menemukan kembali maknanya. Ia bukan lagi mesin pencetak data, tapi penjaga cahaya dalam gelapnya zaman.
Jika hari ini kita memuliakan ilmu, marilah kita kembalikan tahtanya kepada jiwa. Biarlah ilmu bekerja, tapi jiwa yang memimpin.
Karena ilmu tanpa jiwa akan membuat kita cerdas tapi kosong. Tapi ilmu yang taat pada jiwa—itulah yang membuat kita benar-benar manusia.
Catatan akhir:
Jika Anda adalah pendidik, dokter, bidan, atau orang tua, jangan takut bicara tentang jiwa. Sebab jiwa bukan ilusi. Jiwa adalah kamu sendiri. Dan ilmu yang kamu miliki hanyalah alat untuk menjaga agar jiwamu tetap hidup.