
Jangan Jadi Angka: Refleksi tentang Martabat Manusia di Zaman Mesin
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Pendahuluan
Hari ini, manusia dipaksa menyesuaikan diri dengan mesin. Kita dituntut serba cepat, tepat, dan bisa diukur. Pendidikan berlomba meluluskan “tenaga kerja siap pakai”. Dunia kerja menilai produktivitas dalam angka. Bahkan relasi personal sering terjerat dalam logika untung-rugi.
Apakah memang kita hanya seonggok data? Apakah tujuan hidup hanya menghasilkan output? Jika kita tidak hati-hati, kita benar-benar akan menjadi sekadar angka di layar—dan kehilangan martabat sebagai manusia.
Sisi Lain Kemajuan: Ketika Nilai Diabaikan
Tidak bisa disangkal: kemajuan ilmu dan teknologi telah memberi kita kenyamanan luar biasa. Komunikasi lintas benua secepat kedipan mata. Mesin menganalisis data dalam hitungan detik. Namun, di balik semua kecanggihan itu, ada konsekuensi yang sering diabaikan: penyusutan nilai.
Apa artinya nilai? Nilai adalah cara kita menilai baik-buruk, penting-tidak penting. Di dunia yang menyanjung objektivitas, yang “tidak bisa diukur” kerap dipinggirkan. Padahal di sanalah letak rasa kemanusiaan kita. Kejujuran, empati, pengorbanan—itu bukan variabel dalam rumus ekonomi. Namun tanpa itu, hidup menjadi kosong.
Manusia: Lebih dari Sekadar Fisik
Kita sering didorong memandang diri semata sebagai makhluk biologis yang perlu makan, bernafas, dan bereproduksi. Akhirnya, perhatian kita habis untuk urusan fisik: nutrisi, olahraga, penampilan. Ini penting, tapi tidak cukup.
Manusia adalah makhluk dengan pikiran yang ingin tahu, hati yang bisa peduli, dan nurani yang bisa menilai. Mengabaikan dimensi ini sama saja memutilasi kemanusiaan kita.
Tantangan Revolusi Digital
Hari ini, tantangan itu makin nyata. Mesin sudah bisa menulis, menggambar, bahkan berbicara. Algoritma memprediksi keinginan kita sebelum kita mengucapkannya. Namun ada yang tidak bisa dibuat mesin: pengalaman.
Pengalaman mencintai, kehilangan, berharap, dikhianati—itu membentuk kita. Itu tidak bisa direplikasi. Ketika kita menyerahkan semua pada mesin, kita kehilangan kesempatan untuk tumbuh sebagai manusia yang utuh.
Pendidikan dan Keluarga: Benteng Terakhir
Di sinilah peran penting pendidikan dan keluarga. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan cara menghitung dan menghafal, tetapi membentuk karakter. Ia harus menumbuhkan rasa hormat, tanggung jawab, dan kepekaan.
Keluarga bukan sekadar tempat berteduh dan makan. Keluarga adalah ruang pertama tempat manusia belajar menjadi manusia. Di sana anak-anak belajar mendengar, memahami, memaafkan.
Jika pendidikan dan keluarga gagal menanamkan nilai, siapa yang akan mengingatkan manusia pada martabatnya?
Penutup: Memilih untuk Menjadi Manusia
Kita tidak bisa menghentikan laju teknologi. Kita tidak perlu menolak ilmu. Yang perlu kita lakukan adalah menolak menjadi budak. Kita perlu memimpin teknologi dengan nilai-nilai yang manusiawi.
Jangan mau hanya menjadi angka di spreadsheet. Jangan mau hanya dinilai dari output. Jadilah manusia yang utuh: berpikir, merasa, dan peduli. Di situlah martabat kita. Di situlah harapan bagi dunia yang lebih layak dihuni.

