“Jika Ingin Dicintai, Cintailah”: Bahasa Jiwa antara Ibu dan Janin
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam setiap kehamilan, cinta bukan sekadar perasaan yang lahir setelah bayi dilahirkan. Cinta itu sudah dimulai jauh sebelum janin membuka matanya. Di dalam rahim, ada dialog halus antara dua jiwa — jiwa ibu yang memberi, dan jiwa janin yang menerima, lalu membalas dalam cara yang sangat lembut.
Sebagaimana hukum kasih yang sederhana namun mendalam, “Jika ingin dicintai, cintailah terlebih dahulu,” demikian pula hukum batin dalam kehamilan: ibu yang lebih dahulu mencintai, akan menerima cinta dari janinnya dalam kelimpahan yang tidak terduga.
1. Keajaiban yang Terjadi Saat Ibu Memberi Diri
Cinta ibu yang tulus kepada janinnya bukan hanya perasaan, tetapi tindakan memberi diri. Ibu memberi makanan terbaik, waktu istirahat, pikiran yang tenang, dan doa-doa yang lembut. Dalam setiap pemberian itu, rahmat bekerja diam-diam.
Seperti seseorang yang menabur dengan tangan terbuka, apa yang diberikan ibu — ketenangan, rasa syukur, kelembutan — akan kembali berlipat ganda dalam bentuk pertumbuhan janin yang sehat dan tenang.
Sering kali ibu tidak menyadari, bahwa janin merasakan setiap bentuk kasih itu. Hormon kebahagiaan yang dilepaskan oleh tubuh ibu, detak jantung yang teratur, atau nada suara yang lembut ketika ia berbicara, semuanya menjadi “bahasa cinta” yang ditangkap oleh jiwa kecil di dalam rahim.
2. Menyambut Kehadiran dalam Bentuk yang Tak Selalu Kita Harapkan
Tidak semua masa kehamilan berjalan sesuai harapan. Kadang ada rasa lelah, nyeri, bahkan kecewa. Namun justru dalam saat-saat seperti itulah, jiwa ibu belajar untuk tidak menolak, tetapi menyambut apa pun yang datang — sebagaimana rahmat sering hadir dalam cara yang tidak kita duga.
Janin pun belajar dari sikap itu. Ketika ibu belajar menerima keadaan, ia sedang mengajarkan anaknya sejak dini tentang ketahanan batin, kesabaran, dan penerimaan terhadap hidup.
Setiap kali ibu menghela napas panjang dan berkata dalam hatinya, “Aku mencintaimu walau ini berat,” pada saat itulah cinta mengalir dua arah: dari ibu kepada janin, dan dari janin kembali kepada ibu dalam bentuk ketenangan yang lembut.
3. Memberi Tanpa Menghitung, Menerima Tanpa Menuntut
Kehamilan mengajarkan bahwa kasih sejati tidak menghitung untung rugi. Ibu memberi tubuhnya, tidurnya, bahkan bentuk tubuhnya berubah — tanpa menuntut balasan. Tapi justru di sanalah keajaiban terjadi.
Janin yang tumbuh sehat, gerakan kecilnya, atau detak jantung yang kuat adalah cara hidup membalas kasih itu. Seperti hukum rohani: apa yang diberikan dengan cinta akan kembali dalam kelimpahan.
Cinta dalam kehamilan adalah latihan memberi tanpa pamrih.
Dan ketika ibu melakukan itu dengan sepenuh hati, ia akan merasakan sesuatu yang dalam — cinta yang ia tanamkan ternyata kembali padanya dalam bentuk kedamaian dan sukacita.
4. Saat Cinta Menjadi Bahasa Jiwa
Komunikasi antara ibu dan janin tidak membutuhkan kata.
Ia terjadi melalui energi batin, perasaan, dan kesadaran kasih.
Ketika ibu tersenyum, tubuhnya melepaskan hormon endorfin dan oksitosin — zat kebahagiaan yang mengalir ke janin. Ketika ibu berdoa, jiwa janin ikut tenang dalam gelombang yang sama.
Inilah bentuk paling murni dari hukum “mencintai dan dicintai”: dua jiwa yang saling memberi, saling menenangkan, dan saling menghidupi.
5. Rahmat yang Berlipat Ganda
Ada saat di mana ibu tidak melihat hasilnya secara langsung. Namun seperti benih yang tumbuh perlahan di bawah tanah, cinta yang diberikan kepada janin akan berbuah pada waktunya.
Anak yang lahir dari rahim yang penuh kasih akan membawa bekal emosional dan spiritual yang kuat: rasa aman, empati, dan kemampuan mencintai.
Keajaiban ini bukan hadiah yang instan, tetapi buah dari kesetiaan ibu untuk terus memberi, bahkan ketika ia lelah.
Sebab dalam dunia jiwa, yang memberi dengan cinta akan menerima rahmat berlimpah — bukan selalu dalam bentuk materi, melainkan dalam damai dan kebahagiaan yang tidak bisa diukur.
6. “Si Vis Amari, Ama” dalam Kehidupan Rahim
Jika ingin dicintai oleh kehidupan, cintailah kehidupan itu lebih dahulu.
Bagi seorang ibu, itu berarti mencintai janin bukan karena ia sempurna, tetapi karena ia adalah anugerah yang sedang belajar menjadi manusia.
Kehamilan menjadi ruang suci tempat kasih diuji dan dihidupi: memberi sebelum menerima, mencintai sebelum dimengerti, mempercayai sebelum melihat.
Dan ketika cinta itu dijalankan dengan kesadaran dan keikhlasan, rahmat akan datang — sering kali dalam cara yang sederhana, lembut, dan tidak terduga, seperti detak kecil yang terdengar dari dalam rahim: tanda bahwa kasih telah menjelma menjadi kehidupan.
Penutup
Dalam komunikasi jiwa antara ibu dan janin, “Si vis amari, ama” bukan sekadar semboyan moral, tetapi hukum alamiah kehidupan.
Cinta yang diberikan dengan tulus tidak pernah hilang; ia kembali, tumbuh, dan mengalir dalam bentuk kehidupan baru yang membawa cahaya.
Maka setiap kehamilan adalah undangan untuk menghidupi kasih yang memberi, agar kelak dunia menerima manusia-manusia yang belajar mencintai karena sejak awal mereka telah dicintai.