
“Jika Ingin Dicintai, Cintailah — Personhood dalam Relasi Jiwa Ibu dan Jiwa Janin”
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Ada kalimat sederhana yang menyimpan kebijaksanaan mendalam: “Si vis amari, ama” — jika ingin dicintai, cintailah. Kalimat ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan kunci untuk memahami hakikat terdalam dari kehidupan manusia: bahwa kita menjadi pribadi (person) karena kita berada dalam relasi cinta.
Dalam kehamilan, kebenaran ini menjelma secara paling murni. Seorang ibu tidak menunggu anaknya lahir untuk mencintainya; justru di dalam rahim, cinta itu sudah bekerja, membentuk, dan memanusiakan. Di sinilah “personhood” — keberpribadian manusia — mulai tumbuh, bukan hanya secara biologis, tetapi juga dalam jaringan kasih yang menghubungkan jiwa ibu dan jiwa janin.
1. Personhood Dimulai dari Relasi, Bukan dari Kesempurnaan Fisik
Dalam banyak pandangan modern, seseorang dianggap “menjadi pribadi” ketika ia sudah mampu berpikir, berbicara, atau berbuat. Namun dalam pandangan yang lebih relasional dan eksistensial, personhood tidak menunggu kemampuan itu muncul.
Seorang janin sudah menjadi seseorang karena ia hidup dalam dan dari relasi cinta — terutama relasi dengan ibunya.
Cinta ibu menjadi bahasa pertama yang dirasakan janin: melalui detak jantung, gelombang hormon, ritme napas, dan kedamaian batin. Dalam komunikasi diam ini, janin tidak sekadar menerima nutrisi, tetapi juga menerima makna keberadaan: “Aku dicintai, maka aku ada.”
Dengan demikian, kepribadian manusia (personhood) bukan hasil dari perkembangan intelektual, tetapi buah dari keterhubungan. Jiwa janin menemukan dirinya dalam pelukan jiwa ibu.
2. Komunikasi Jiwa: Tempat Personhood Diciptakan Bersama
Komunikasi antara ibu dan janin bukan hanya hubungan satu arah, tetapi dialog batin yang saling membentuk.
Ketika ibu mengasihi, tubuh dan pikirannya menyesuaikan diri terhadap kebutuhan janin: detak jantungnya menenangkan, sistem imunnya menyesuaikan, dan emosinya perlahan menyatu dengan irama kehidupan kecil yang tumbuh di dalamnya.
Sebaliknya, janin juga “berkomunikasi” melalui gerak, ritme jantung, atau bahkan kehadiran halus yang sering dirasakan ibu sebagai intuisi.
Dalam interaksi inilah kedua jiwa belajar menjadi pribadi dalam arti sejati. Ibu belajar memberi diri — dan dari pemberian itu, ia menemukan identitas barunya sebagai pengasih. Janin belajar menerima — dan dari penerimaan itu, ia belajar rasa aman dan kebermaknaan hidup.
Relasi ini bukan sekadar proses biologis, tetapi peristiwa eksistensial: dua pribadi sedang tumbuh bersama dalam cinta.
3. Cinta Sebagai “Tindakan Personhood”
Cinta yang aktif — memberi tanpa menuntut, menerima tanpa menolak — adalah bentuk tertinggi dari eksistensi manusia sebagai pribadi.
Seorang ibu yang memilih untuk mencintai anak yang belum dilihat wajahnya sedang menghidupi inti terdalam dari personhood itu sendiri. Ia sedang mengatakan melalui seluruh keberadaannya:
“Aku bukan hanya tubuh yang mengandung, tetapi hati yang mencintai.”
Setiap kali ibu menenangkan diri di tengah kecemasan, berbicara lembut kepada janin, atau memaafkan tubuhnya yang berubah, ia sedang melakukan tindakan personhood. Ia tidak hanya melindungi kehidupan biologis, tetapi juga membentuk ruang batin di mana kasih menjadi dasar identitas manusia.
Dan dalam cinta itu, janin pun sedang belajar hal yang sama. Ia “menyerap” cinta itu menjadi struktur awal dari keberadaannya — menjadi fondasi bagi kemampuannya kelak untuk mencintai dan menjadi manusia yang berkarakter.
4. Personhood Bersifat Timbal Balik: Ibu dan Janin Saling Memanusiakan
Dalam relasi ibu dan janin, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Yang ada adalah kehadiran dua pribadi yang saling menumbuhkan.
Ibu memberi kehidupan, tetapi juga menerima transformasi batin yang mendalam. Ia belajar tentang kesabaran, pengorbanan, dan keheningan hati.
Janin menerima kehidupan, tetapi sekaligus memberi makna baru pada keberadaan ibunya.
Relasi ini menjadi bukti bahwa personhood bukan sesuatu yang dimiliki secara individual, tetapi dibangun dalam jaringan kasih yang saling menghidupkan. Jiwa ibu menjadi ruang rahmat bagi jiwa janin; jiwa janin menjadi cermin yang mengembalikan kasih itu kepada ibunya — kadang dalam bentuk rasa haru, kedamaian, atau getaran kecil di rahim yang membuat ibu tersenyum tanpa sebab.
5. “Si Vis Amari, Ama” — Jalan Menuju Personhood yang Utuh
Mencintai adalah tindakan yang melahirkan pribadi. Dalam kehamilan, prinsip ini menemukan bentuknya yang paling konkret:
ketika ibu mencintai tanpa syarat, ia sedang memanggil jiwa janinnya keluar dari ketiadaan menuju keberadaan.
Cinta itulah yang mengaktifkan potensi kehidupan menjadi pribadi sejati.
Sebaliknya, ketika janin “merespons” cinta itu — dengan gerakan halus, rasa hadir, atau keheningan yang damai — ia seolah sedang berkata,
“Aku juga mencintaimu, Ibu. Aku belajar menjadi pribadi karena cintamu.”
Penutup: Personhood sebagai Rahmat Relasional
Kehamilan bukan sekadar proses biologis, melainkan peristiwa spiritual di mana dua jiwa dipanggil untuk saling mencintai agar keduanya menjadi pribadi yang utuh.
Dalam semangat “Si vis amari, ama”, ibu dan janin hidup dalam arus cinta yang saling memberi dan saling membentuk.
Di sanalah rahmat bekerja — bukan melalui mukjizat spektakuler, tetapi melalui keheningan yang penuh kasih.
Personhood sejati tidak tumbuh dari kesempurnaan, tetapi dari relasi yang berani mencintai lebih dulu.
Dan dalam rahim seorang ibu, cinta itu sudah mulai bersemi — membentuk manusia baru yang kelak akan belajar mencintai dunia dengan cara yang sama. ❤️

