Jiwa dalam Perspektif Dokumen Antiqua et Nova
Antara Kodrat, Kebebasan, dan Kecerdasan Relasional
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Pendahuluan: Jiwa dalam Diskursus Iman dan Teknologi
Kemajuan pesat dalam bidang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menggugah kembali perdebatan filosofis dan teologis mengenai makna menjadi manusia. Dalam konteks ini, Gereja Katolik melalui dokumen Antiqua et Nova (2025), menawarkan refleksi mendalam yang tidak hanya bersifat etis dan antropologis, tetapi juga spiritual. Pusat dari refleksi ini adalah pemahaman akan jiwa manusia—bukan sebagai kategori metafisis belaka, tetapi sebagai realitas yang integral dan dinamis, yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya maupun dari kecerdasan buatan yang semakin canggih.
Artikel ini menjabarkan secara menyeluruh bagaimana dokumen Antiqua et Nova memahami jiwa, menempatkannya dalam relasi dengan kecerdasan, tubuh, kebebasan, dan Tuhan, serta menunjukkan mengapa AI—betapapun majunya—tidak bisa menggantikan dimensi terdalam kemanusiaan.
1. Jiwa: Hakikat yang Menyatu dengan Tubuh
Dalam tradisi iman Katolik, manusia tidak dipahami sebagai “jiwa yang berada dalam tubuh,” tetapi sebagai kesatuan kodrati antara tubuh dan jiwa. Dokumen Antiqua et Nova menegaskan bahwa “roh dan materi bukanlah dua kodrat yang bersatu, melainkan keduanya menyatu membentuk kodrat yang tunggal” (KGK 365). Dengan kata lain, jiwa adalah prinsip kehidupan manusia, yang membuat tubuh hidup, sadar, dan mampu berpikir.
Jiwa bukan bagian lepas atau sementara, tetapi esensial bagi eksistensi manusia. Bahkan, tubuh mendapatkan maknanya melalui kehadiran jiwa. Maka, ketika AI diciptakan tanpa tubuh biologis dan tanpa roh, ia tidak dapat dikatakan sebagai “makhluk hidup” atau “pribadi.” Jiwa adalah yang menjadikan manusia sebagai subjek yang hidup, sadar, dan bertanggung jawab.
2. Jiwa sebagai Sumber Kecerdasan dan Kebebasan
Jiwa manusia tidak hanya menjadi prinsip kehidupan, tetapi juga sumber kecerdasan dan kebebasan. Jiwa manusia dianugerahi akal budi (intellectus) dan kehendak bebas (liberum arbitrium). Dengan akal budi, manusia mampu memahami kebenaran; dan dengan kehendak, manusia dapat memilih yang baik. Inilah dasar dari martabat manusia, dan ini pula yang membedakan manusia dari AI.
Dokumen Antiqua et Nova menekankan bahwa tidak seperti AI yang beroperasi berdasarkan logika komputasional dan data kuantitatif, manusia berpikir melalui proses historis, emosional, sosial, dan spiritual yang saling terjalin. Bahkan kemampuan untuk mencintai, berempati, dan bertanggung jawab berasal dari jiwa yang meresap seluruh dimensi keberadaan manusia.
3. Jiwa sebagai Subjek Relasional dan Transendental
Dimensi relasional dari jiwa manusia sangat ditekankan dalam dokumen ini. Jiwa manusia diarahkan pada hubungan dengan sesama dan terutama dengan Tuhan. Gereja menegaskan bahwa manusia, dalam jiwanya, adalah makhluk relasional yang “dipanggil untuk bersekutu” (lih. KGK 356, GS 12). Relasi ini bukan sekadar fungsi sosial, melainkan cermin dari Allah Tritunggal yang adalah persekutuan kasih abadi.
Oleh karena itu, jiwa manusia memiliki kapasitas transendensi, yakni kemampuan untuk melampaui dirinya, menuju realitas ilahi. Jiwa dapat mengenal kebenaran yang melampaui dunia materi, dan terbuka terhadap wahyu Allah. Dalam bahasa teologis, ini disebut intellectus fidei—kecerdasan yang diterangi oleh iman.
4. Jiwa sebagai Penanggung Jawab Etis
Hanya manusia yang memiliki kesadaran moral, karena hanya manusia yang memiliki jiwa rasional dan kehendak bebas. Maka, manusia adalah satu-satunya subjek etis yang dapat membedakan baik dan jahat, serta bertanggung jawab atas tindakannya. AI, meskipun bisa mengambil keputusan berdasarkan algoritma, tidak memiliki nurani. Tanpa jiwa, AI tidak mampu menilai nilai moral atau memiliki kepekaan etika.
Dokumen ini mengingatkan bahwa ketika manusia menyerahkan pengambilan keputusan kepada AI tanpa disertai tanggung jawab etis, hal itu berisiko menanggalkan kemanusiaannya sendiri. Maka, pengembangan teknologi harus selalu tunduk pada nilai-nilai yang mengalir dari martabat jiwa manusia.
5. Jiwa dan Pencarian Kebenaran dan Makna
Jiwa adalah daya dalam diri manusia yang mendorongnya untuk mencari makna dan kebenaran. Sebagaimana disampaikan dalam dokumen: “keinginan akan kebenaran adalah bagian dari sifat manusia itu sendiri” (lih. Fides et Ratio, GS 15). AI mungkin dapat menghasilkan jawaban yang cepat dan akurat, tetapi tidak mampu merasakan kekaguman, keheranan, atau kontemplasi akan makna yang mendalam.
Hanya jiwa manusia yang dapat bertanya: “Apa makna dari penderitaan?”, “Apa tujuan hidupku?”, atau “Siapakah aku di hadapan Tuhan?”—dan kemudian, dalam iman, bertumbuh dalam pengetahuan akan misteri Allah dan panggilan hidupnya.
6. Jiwa sebagai Partisipasi dalam Imago Dei
Puncaknya, jiwa manusia adalah tempat citra Allah (imago Dei) diungkapkan. Jiwa menjadi sarana partisipasi manusia dalam akal dan kasih Allah. Martabat manusia tidak berasal dari produktivitas, efisiensi, atau kecerdasan komputasional, melainkan dari kenyataan bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya.
Dengan demikian, segala bentuk reduksi manusia menjadi sekadar fungsi biologis atau kapasitas algoritmis adalah pengingkaran terhadap jiwa sebagai inti terdalam kemanusiaan. Martabat ini melekat pada setiap pribadi, termasuk yang belum lahir, yang sakit parah, maupun yang dalam kondisi tidak sadar.
Kesimpulan: Jiwa Sebagai Inti Kemanusiaan dalam Era AI
Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh teknologi, dokumen Antiqua et Nova mengajak manusia untuk tidak melupakan jiwanya—unsur terdalam dan tertinggi dari dirinya yang tidak dapat diwakili oleh mesin. AI mungkin bisa meniru cara berpikir manusia, tetapi tidak dapat mencintai, menderita, percaya, berdoa, atau menebus. Jiwa adalah medan perjumpaan antara manusia dengan Tuhan, tempat di mana kebebasan, kebenaran, kasih, dan harapan lahir dan bersemi.
Oleh karena itu, pemahaman yang utuh tentang jiwa menjadi kunci untuk membedakan antara alat dan pribadi, antara mesin dan manusia, antara kecerdasan buatan dan kebijaksanaan sejati. Dunia tidak akan diselamatkan oleh algoritma, tetapi oleh jiwa-jiwa yang terbuka kepada kasih dan kebenaran yang hidup dari Allah sendiri.