Jiwa, Kehidupan, dan Dialog Sunyi antara Ibu dan Janin
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Setiap awal kehidupan adalah misteri yang menyatukan sains, filsafat, dan cinta. Sejak Aristoteles berpendapat bahwa jiwa dibawa oleh sperma yang bergerak menuju sel telur, hingga Aquinas yang melihat jiwa meresapi seluruh tubuh secara merata, kita belajar bahwa kehidupan bukan hanya urusan biologi, tetapi juga peristiwa jiwa.
Namun, di ruang kehamilan, misteri ini terasa lebih dekat. Janin bukan sekadar calon manusia yang tumbuh dalam rahim; ia adalah pribadi yang sejak awal berkomunikasi. Komunikasi itu tidak menggunakan kata, tetapi mengalir melalui intuisi, perasaan, dan bahkan pancaindra sang ibu.
Cinta sebagai Gerbang Kehadiran Jiwa
Seperti yang diyakini dalam ajaran iman, jiwa dihembuskan oleh Allah melalui media cinta antara suami dan istri. Dari sudut pandang saya sebagai dokter kandungan sekaligus peneliti komunikasi jiwa, cinta ini adalah medan energi pertama yang dirasakan janin. Ia menjadi bahasa awal sebelum detak jantung, sebelum gelombang otak terbentuk.
Janin menyerap getaran kasih sayang, rasa aman, dan niat baik yang dibangun di awal kehamilan. Inilah alasan mengapa ibu sering merasakan “kehadiran” janin bahkan sebelum alat USG mampu mendeteksi.
Jiwa yang Menyatukan Tubuh
Pandangan filsafat menyatakan bahwa jiwa adalah kekuatan pemersatu seluruh bagian tubuh. Dari perspektif komunikasi jiwa, kesatuan ini juga berlaku antara ibu dan janin: denyut nadi, perubahan napas, bahkan selera makan ibu sering menjadi saluran bagi janin untuk menyampaikan kebutuhannya. Saat ibu tiba-tiba ingin makanan tertentu, atau merasa letih tanpa sebab, itu seringkali adalah pesan halus dari janin.
Pengalaman Spiritual dan Keterbatasan Ilmu
Ilmu pengetahuan mampu menjelaskan proses biologis pembentukan manusia, tetapi komunikasi jiwa berada di wilayah yang melampaui laboratorium. Sebagaimana manusia mempercayai kisah dan pengalaman orang lain, ibu hamil pun mempercayai pesan dari tubuh dan hatinya. Di sinilah trust menjadi kunci—percaya bahwa setiap sensasi, intuisi, atau emosi yang datang, bisa jadi adalah bisikan kebutuhan janin.
Janin sebagai “Imago Mundi” dan “Imago Dei”
Jika manusia adalah imago mundi (gambaran dunia) dan imago Dei (gambaran Allah), maka janin adalah cerminan paling murni dari dua dimensi ini. Ia membawa unsur materi dari bumi, tetapi juga napas ilahi dari Sang Pencipta. Selama kehamilan, ibu menjadi jembatan dua dunia ini—menghadirkan bumi dan langit sekaligus di dalam rahimnya.
Kesimpulan
Komunikasi jiwa antara ibu dan janin adalah dialog sunyi yang berlangsung setiap detik. Sains membantu kita memahami mekanismenya, filsafat memberi kerangka makna, dan iman menghidupkan dimensi terdalamnya. Sebagai ibu, membuka hati pada intuisi dan perasaan adalah cara terbaik untuk merespons pesan janin—pesan yang tidak hanya membentuk fisiknya, tetapi juga menyiapkan jiwanya menyongsong dunia.