• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Jiwa, Pikiran, dan Tubuh: Merajut Kembali Keutuhan Manusia

Jiwa, Pikiran, dan Tubuh: Merajut Kembali Keutuhan Manusia

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang kian rasional, kita nyaris melupakan sesuatu yang paling esensial: jiwa. Kita dibentuk oleh sistem yang memuja nalar, mengedepankan data, dan mengandalkan pikiran sebagai satu-satunya alat ukur kebenaran. Namun benarkah hidup ini hanya ditentukan oleh apa yang bisa dianalisis dan diukur?

Jika kita berhenti sejenak, merenung dalam keheningan batin, kita akan menemukan bahwa kehidupan tak sepenuhnya bergerak atas dasar logika. Ia berjalan karena rasa, intuisi, dan jiwa yang diam-diam menuntun arah.

Manusia: Makhluk Tiga Dimensi

Dalam terang spiritualitas dan refleksi iman, manusia bukan sekadar tubuh dan pikiran. Ia adalah makhluk tiga dimensitubuh, jiwa, dan roh—yang seharusnya bersatu dalam harmoni. Seperti Allah yang satu namun menyatakan diri dalam Trinitas—Bapa, Putra, dan Roh Kudus—demikian pula manusia dicipta sebagai citra ilahi: utuh dalam keberagaman, satu dalam kedalaman makna.

Namun, peradaban sering kali menceraiberaikan kesatuan ini. Jiwa dipisahkan dari tubuh. Roh dianggap tidak relevan. Pikiran dimutlakkan sebagai pusat kendali. Padahal, sebagaimana tubuh membutuhkan jiwa untuk hidup, jiwa pun hanya bisa menyatakan dirinya melalui tubuh dan pikiran yang tercerahkan.

Pikiran: Hanya Salah Satu Instrumen Jiwa

Sering kita lupa bahwa pikiran hanyalah salah satu instrumen jiwa. Pikiran memang bisa mengukur, menganalisis, dan memetakan. Tapi ia bukan satu-satunya jalan untuk memahami hidup. Banyak pengalaman hidup yang tidak dapat dijelaskan secara logis, namun sangat nyata dalam rasa: kasih seorang ibu, tangisan anak dalam kandungan, keheningan yang menggetarkan, atau kepercayaan yang muncul tanpa syarat.

Kita percaya begitu saja kepada dokter, menyerahkan anak kepada guru, mencintai tanpa alasan. Semua itu tidak rasional—namun justru itulah yang paling manusiawi. Kehidupan sejati justru berdenyut di ruang-ruang intuitif dan emosional, jauh dari analisis dan logika kaku.

Ruang Intuisi dalam Kehamilan

Salah satu ruang paling sakral dalam kehidupan manusia adalah kehamilan. Di sana, intuisi ibu bekerja lebih kuat dari logika. Ia mendengar detak yang belum berbicara, merasakan gerak yang belum bernama. Janin hadir bukan sebagai objek medis, tetapi sebagai jiwa yang mengabarkan kehidupan. Bahasa yang digunakan bukan kata-kata, tetapi getaran rasa, intuisi, dan kasih yang tak terucap.

Sayangnya, dunia medis dan sains modern sering kali menyempitkan ruang ini menjadi sekadar angka, grafik, dan prosedur. Padahal, justru dalam kehamilan, jiwa dan tubuh menyatu paling kuat. Di situlah komunikasi terdalam terjadi, bukan antar pikiran, tapi antar jiwa.

Belajar dari Tumbuhan dan Hewan

Ironisnya, dalam banyak hal, hewan dan tumbuhan lebih setia pada hakikat kehidupannya. Mereka hidup dalam kesatuan penuh antara tubuh dan jiwanya. Mereka tidak berkonflik antara logika dan rasa, tidak tercabik antara tuntutan sosial dan suara hati. Mereka hidup untuk mempertahankan dan menikmati hidup, sederhana namun penuh makna.

Pertanyaannya: Mampukah manusia mempertahankan keutuhan dirinya sendiri? Atau justru tercerai berai oleh logika yang ia sembah?

Kembali pada Jiwa

Sudah saatnya kita mengakui bahwa kehidupan ini tidak bisa dikuasai oleh pikiran semata. Kita perlu kembali ke jiwa, bukan untuk meninggalkan logika, tapi untuk menyeimbangkannya. Kita butuh tubuh yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang hadir sepenuhnya. Kita butuh cara hidup yang selaras dengan alam, dengan Tuhan, dan dengan sesama.

Hidup bukan hanya soal benar dan salah menurut akal, tapi tentang keutuhan yang mengalir dari dalam: dari jiwa yang jernih, dari kasih yang tulus, dari intuisi yang diam-diam mengarahkan kita pada yang sejati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *