• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Jiwa sebagai Skizo: Menyelami Arus Hidup antara Ibu dan Janin

Jiwa sebagai Skizo: Menyelami Arus Hidup antara Ibu dan Janin

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Dalam pandangan filsuf Gilles Deleuze, jiwa bukanlah sesuatu yang statis, utuh, dan tetap seperti yang sering dipahami dalam tradisi klasik. Jiwa, bagi Deleuze, adalah arus yang terus bergerak, kekuatan yang selalu melahirkan perbedaan, yang tidak pernah berhenti mencipta bentuk-bentuk baru dari pengalaman hidup. Inilah yang ia sebut sebagai skizo—bukan dalam arti penyakit mental, melainkan sebagai jiwa yang terbuka, yang mengalir di antara batas-batas tubuh dan pikiran, subjek dan dunia.

Skizo: Jiwa yang Tidak Pernah Diam

Dalam karya Deleuze dan Guattari, terutama Anti-Oedipus, “skizo” dipahami sebagai metafora bagi jiwa yang bebas dari tatanan dan kategori yang membatasi. Jiwa tidak lagi tunduk pada “hukum rasionalitas” atau struktur moral yang kaku, melainkan hidup sebagai energi yang terus bertransformasi—menghubungkan hal-hal yang tampak terpisah, memecah dinding antara kesadaran dan bawah sadar, antara manusia dan semesta.

Jiwa yang skizo ini bukan kekacauan, melainkan sumber kreativitas kehidupan. Ia mendobrak pola pikir yang menjadikan manusia hanya “objek” dari pikirannya sendiri. Deleuze mengingatkan bahwa pikiran hanyalah alat ekspresi jiwa, bukan penguasanya. Pikiran menghasilkan ilmu, teknologi, dan konsep, tetapi jiwa adalah pemilik arah — ia yang menuntun makna dari seluruh penciptaan itu.

Komunikasi Jiwa: Dari Rahim Menuju Dunia

Jika kita tarik pemikiran Deleuze ini ke dalam konteks hubungan jiwa ibu dan janin, maka kehamilan dapat dilihat sebagai ruang skizo yang hidup—tempat dua jiwa saling beresonansi tanpa batas tubuh, tanpa bahasa, tanpa rasio. Ibu dan janin berkomunikasi dalam medan energi yang cair, di mana perasaan, intuisi, dan kesadaran menjadi jembatan yang lebih dalam daripada kata-kata.

Dalam perspektif Deleuze, rahim bukan sekadar ruang biologis, melainkan medan intensitas jiwa, tempat terjadi pertemuan dua arus eksistensi yang saling menubuh. Janin bukan hanya “bagian dari tubuh ibu”, melainkan arus kehidupan baru yang sedang belajar menata dirinya di dalam arus jiwa ibu. Komunikasi itu bersifat pra-verbal, pra-rasional, dan justru di sanalah hakikat kehidupan spiritual dimulai.

Ketika ibu merasakan getaran halus dari dalam perutnya — bukan sekadar gerakan fisik, tapi sensasi kehadiran — di situlah jiwa yang skizo menampakkan dirinya: hidup, bergerak, menembus batas antara diri dan yang lain. Jiwa janin dan jiwa ibu tidak berdialog seperti dua pikiran, tetapi berinteraksi sebagai dua arus energi yang saling menulis satu sama lain.

Menjadi Subjek, Bukan Objek

Deleuze mengingatkan bahwa manusia harus kembali menyadari dirinya sebagai subjek dari pikirannya, bukan objek dari sistem yang ia ciptakan. Begitu pula dalam kehidupan modern: teknologi dan ilmu pengetahuan, seberapa pun majunya, tetaplah lahir dari pikiran, sedangkan jiwa adalah yang melahirkan makna dari semua itu. Maka, sebagaimana jiwa ibu menuntun arah pertumbuhan janin dengan getaran kasih, manusia pun mesti menuntun pikirannya dengan kebijaksanaan jiwa.

Menjadi subjek berarti menempatkan kitab suci—simbol dari kebijaksanaan dan kesadaran spiritual—di atas kepala, bukan di bawahnya. Artinya, pikiran harus tunduk pada jiwa, bukan sebaliknya. Sebab, ketika jiwa diam, dunia menjadi bising oleh logika tanpa makna. Tetapi ketika jiwa berbicara, teknologi pun bisa menjadi alat cinta, bukan pengganti kehidupan.

Skizo dan Keutuhan Hidup

Melalui lensa Deleuze, menjadi skizo bukan berarti terpecah, melainkan menyadari bahwa keutuhan justru lahir dari gerak yang terus berubah. Dalam setiap proses biologis, emosional, atau spiritual, kehidupan tidak pernah berhenti mencipta bentuk-bentuk baru. Seperti komunikasi antara ibu dan janin, yang terus beradaptasi dari denyut jantung pertama hingga tangisan kelahiran—itulah jiwa yang skizo: terus mengalir, menyentuh, dan memperluas makna keberadaan.


Penutup

Pemikiran Deleuze mengajarkan bahwa jiwa adalah medan terbuka, tempat setiap kehidupan bertemu dalam aliran kreatif tanpa batas. Dalam kehamilan, kita menyaksikan manifestasi paling murni dari kebenaran ini: dua jiwa yang saling menulis dan menumbuhkan kehidupan melalui cinta dan kesadaran yang tidak bisa dijelaskan hanya oleh logika.

Dan mungkin, di situlah kebijaksanaan sejati lahir—saat kita berhenti menjadi budak pikiran, dan mulai mendengarkan jiwa yang senantiasa mengalir, mencipta, dan menghidupkan segalanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *