JIWA: SUBYEK DARI PIKIRAN
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di tengah arus deras kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia modern kerap memuja hasil ciptaannya sendiri. Pikiran, yang sejatinya adalah alat luhur untuk memahami dan mengolah kehidupan, perlahan naik ke takhta tertinggi dan mengklaim diri sebagai penguasa tunggal atas kebenaran. Kita hidup di zaman di mana logika sering kali dianggap lebih sahih daripada kebijaksanaan batin, dan data lebih dipercaya daripada suara hati.
Namun, sesungguhnya di balik segala kemajuan itu, ada sesuatu yang lebih mendasar dan lebih hakiki: JIWA.
Jiwa adalah inti kesadaran manusia — sumber kehidupan yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan rumus atau algoritma. Ia adalah pusat yang menghidupkan pikiran, perasaan, dan kehendak; pusat yang mengarahkan seluruh pengalaman manusia menuju makna yang lebih dalam.
Pikiran adalah anugerah yang luar biasa. Ia memungkinkan kita untuk menafsirkan dunia, membangun ilmu, mencipta teknologi, dan menembus batas-batas ruang serta waktu. Tetapi kita perlu selalu ingat: pikiran bukanlah pemilik diri kita.
Kitalah — sebagai jiwa yang hidup — subyek dari pikiran itu. Pikiran hanyalah alat untuk mengekspresikan kesadaran jiwa ke dalam bentuk nyata. Ketika kita membiarkan pikiran menguasai tanpa bimbingan jiwa, hidup menjadi kering, mekanis, dan kehilangan arah.
Manusia: Subyek, Bukan Obyek
Kesadaran bahwa manusia adalah subyek dari pikirannya membawa kita kembali pada inti kemanusiaan.
Subyek berarti penggerak, sumber makna, dan pemilik keputusan. Obyek adalah yang digerakkan, yang dikendalikan, yang ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya. Ketika kita membiarkan pikiran berjalan tanpa kendali kesadaran jiwa, kita berubah menjadi obyek dari sistem yang kita ciptakan sendiri — entah itu sistem teknologi, ekonomi, maupun sosial.
Kita dapat melihat fenomena ini di sekitar kita: manusia yang terlalu sibuk dengan logika kerja hingga kehilangan makna hidup; manusia yang haus akan efisiensi, tetapi miskin rasa; manusia yang berpengetahuan tinggi, tetapi mudah hancur oleh kegelisahan batin. Semua itu adalah tanda bahwa jiwa telah digeser ke pinggir, dan pikiran telah duduk di singgasana yang bukan miliknya.
Menempatkan Jiwa Sebagai Pemimpin
Jiwa tidak bekerja dengan logika linear. Ia berbahasa melalui intuisi, rasa, dan keheningan. Ia memahami apa yang tidak dapat dijelaskan oleh data, dan mengingat apa yang belum pernah dipelajari oleh otak. Jiwa adalah dimensi terdalam dari diri manusia, tempat iman, cinta, dan kesadaran berakar.
Ketika jiwa memimpin, pikiran menjadi alat yang indah. Ia bekerja bukan untuk menguasai, melainkan untuk melayani kehidupan. Ia menafsirkan dunia tanpa kehilangan rasa takjub terhadap misterinya. Ia mencari kebenaran tanpa mengklaim kekuasaan atasnya.
Sebaliknya, ketika pikiran menjadi penguasa, manusia cenderung terjebak dalam ilusi kontrol. Semua hal diukur, diklasifikasi, dan dinilai secara fungsional, tanpa menyisakan ruang bagi kebijaksanaan batin. Ilmu dan teknologi yang seharusnya membebaskan manusia justru bisa memperbudaknya.
Oleh karena itu, keseimbangan antara jiwa dan pikiran adalah fondasi dari kebijaksanaan sejati. Pikiran yang tajam perlu disinari oleh cahaya jiwa. Sebab di sanalah lahir kebenaran yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berbelas kasih.
Kitab Suci di Atas Buku Teks
Dalam simbol yang sederhana namun dalam maknanya, ada ajakan untuk meletakkan kitab suci di atas buku teks, di atas kepala, di atas otak.
Makna dari simbol ini bukan menolak ilmu pengetahuan, melainkan mengingatkan bahwa iman dan nilai spiritual harus memandu setiap bentuk pengetahuan. Ilmu tanpa kesadaran jiwa dapat kehilangan arah, sebagaimana teknologi tanpa cinta dapat membawa kehancuran.
Kitab suci mengajarkan kebijaksanaan yang hidup — bukan sekadar pengetahuan, melainkan hikmah yang menghidupkan. Ia mengingatkan kita bahwa tujuan akhir manusia bukan sekadar memahami dunia, tetapi menghidupinya dengan kasih, makna, dan kesadaran.
Dengan menempatkan kitab suci di atas kepala, kita mengakui bahwa kebijaksanaan ilahi berada di atas logika manusia. Dan ketika pikiran tunduk pada cahaya iman, manusia akan mampu berpikir jernih tanpa kehilangan arah spiritualnya.
Kembali pada Keutuhan Diri
Jalan menuju kebijaksanaan sejati bukanlah menolak pikiran, tetapi menyelaraskannya dengan jiwa.
Ilmu dan iman, logika dan intuisi, teknologi dan kasih — semuanya dapat berjalan beriringan jika kita menempatkan jiwa sebagai pusat. Di sanalah manusia menemukan kembali keutuhannya: berpikir dengan terang, bertindak dengan sadar, dan hidup dengan damai.
Jiwa adalah subyek, pikiran adalah alat.
Ketika urutan ini terjaga, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kemajuan dunia. Ia akan tetap menjadi pribadi yang sadar, utuh, dan merdeka — bukan obyek dari ciptaannya sendiri, tetapi pelaku yang penuh kasih dalam drama kehidupan ini.