
Jiwa, Tubuh, dan Cinta: Perspektif Filsafat, Sains, dan Iman
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Pertanyaan tentang asal-usul dan hakikat jiwa telah menjadi topik perenungan panjang dalam sejarah manusia. Dari Aristoteles hingga Aquinas, dari kitab suci hingga teori sains modern, manusia terus mencari jawaban: Dari mana jiwa datang? Bagaimana ia hadir dalam tubuh? Dan apa hubungan kita dengan dunia ini?
Jiwa dalam Pandangan Filsafat Klasik
Aristoteles berpendapat bahwa jiwa hadir melalui sperma, yang menjadi ciri hidup karena gerakannya. Gerakan ini menandakan daya hidup yang kemudian bersatu dengan sel telur. Dari sekian banyak sperma yang berjuang, hanya satu atau beberapa yang berhasil masuk, memulai perjalanan penciptaan manusia.
Aquinas melengkapi pandangan ini dengan menyatakan bahwa jiwa tidak menempati satu bagian tertentu dari tubuh, melainkan meresapi seluruh sel tubuh secara merata. Bukti analogisnya terlihat pada kematian: ketika jiwa meninggalkan tubuh, semua bagian tubuh berhenti hidup secara bersamaan.
Jiwa sebagai Kekuatan Pemersatu
Tubuh manusia terdiri dari banyak bagian, namun kesatuannya dijaga oleh jiwa. Tanpa jiwa, bagian-bagian tubuh akan terurai dan kehilangan harmoni. Jiwa adalah kekuatan yang mengikat, mempersatukan, dan menggerakkan seluruh organisme.
Perspektif Teologis: Kehadiran Ilahi
Kisah kehadiran Yesus dalam rahim Maria menjadi gambaran unik tentang misteri masuknya jiwa ke dalam tubuh. Dalam iman Kristiani, Allah menghendaki untuk dikenal oleh manusia melalui pengalaman manusiawi—maka Sang Firman menjadi daging. Proses ini melampaui logika ilmiah, menuntut kepercayaan (trust) yang seringkali didasari pengalaman rohani, bukan sekadar bukti empiris.
Dari sudut pandang teologis, jiwa manusia dihembuskan oleh Allah melalui media cinta kasih antara suami dan istri. Secara fisik, Aristoteles melihatnya melalui sperma yang bergerak menuju sel telur; secara rohani, cinta adalah saluran kehadiran jiwa.
Sains, Ilmu, dan Alam
Sains memandang manusia sebagai bagian dari alam (imago mundi—gambaran dunia). Teori evolusi berusaha menjelaskan perjalanan materi menjadi kehidupan, namun tetap berada dalam lingkup fenomena yang teramati. Ilmu, dalam pengertian klasik Arab (‘ilmu dari kata ‘alama), adalah pengalaman yang disistematisasi sehingga menghasilkan generalisasi. Meski berharga, sains tetap terbatas pada dunia empiris.
Manusia: Makhluk Dunia dan Penerima Jiwa Ilahi
Dalam pandangan iman, manusia tidak hanya imago mundi (gambaran dunia), tetapi juga imago Dei (gambaran Allah). Artinya, manusia adalah makhluk duniawi yang diberi napas ilahi, diangkat dari “lumpur dosa” untuk hidup dalam kemurnian. Dengan demikian, manusia berada di persimpangan dua dimensi: jasmani dan rohani, fana dan kekal.
Kesimpulan
Jiwa adalah misteri yang menyatukan manusia sebagai makhluk biologis, sosial, dan spiritual. Ia hadir melalui perjumpaan cinta, meresapi seluruh tubuh, dan mengikat kita pada asal-usul ilahi. Filsafat memberi kita kerangka berpikir, sains memberi penjelasan fenomena, dan iman memberi makna yang melampaui batas nalar. Dalam pertemuan ketiganya, kita menemukan bahwa manusia adalah lebih dari sekadar materi—kita adalah kisah hidup yang ditiupkan oleh Sang Pencipta.