• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
JIWA YANG HADIR DI TENGAH KEMEGAHAN DIGITAL: MEMBANGUN KELUARGA YANG UTUH DI ABAD INI

JIWA YANG HADIR DI TENGAH KEMEGAHAN DIGITAL: MEMBANGUN KELUARGA YANG UTUH DI ABAD INI

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

1. Keluarga di Persimpangan Zaman

Kita hidup dalam era kecepatan. Segala hal dirancang untuk instan: makanan, komunikasi, hiburan, bahkan keintiman. Dunia menawarkan teknologi untuk mempermudah hidup, tetapi di saat yang sama, menciptakan jarak yang tidak terlihat antarjiwa.

Di tengah rumah-rumah yang terang oleh lampu pintar dan layar beresolusi tinggi, sering kali hati menjadi gelap karena jarang disapa. Kita bisa berbicara dengan siapa pun di belahan dunia lain, namun sering gagal mendengarkan orang yang duduk di samping kita.

Keluarga abad ini tidak kekurangan alat, tapi kekurangan kehadiran. Maka, tantangannya bukan bagaimana menjadi lebih cepat, tapi bagaimana menjadi lebih dekat. Bukan tentang mengungguli sistem, tapi menghidupkan kembali jiwa di tengah sistem.


2. Kehamilan: Percikan Kasih yang Tak Terekam Kamera

Sebelum bayi dilahirkan, sebelum suara tangis pertamanya terdengar, jiwanya sudah hadir dan bicara. Ia berbicara lewat rasa, bukan kata. Ia mengenal dunia lewat detak jantung ibunya, nada suara ayahnya, dan suasana batin yang mengelilinginya.

Dalam rahim, cinta pertama kali diberikan bukan lewat materi, tapi lewat kehadiran penuh kasih dan kelembutan batin. Inilah momen suci ketika cinta tidak terlihat, tapi sangat dirasakan. Dan sayangnya, momen ini sering terlewat karena pikiran kita terlalu sibuk dengan persiapan lahiriah.

Keluarga zaman ini perlu kembali menghormati keheningan rahim, menyadari bahwa anak bukan hanya dilahirkan secara tubuh, tapi dibentuk secara jiwa dalam keheningan yang penuh cinta.


3. Rumah Bukan Hanya Tempat Tinggal, Tapi Tempat Jiwa Pulang

Apa yang terjadi setelah bayi lahir? Rumah seharusnya menjadi rahim kedua. Tempat di mana jiwa tetap tumbuh, terlindungi, dan diterima apa adanya. Tapi sering kali, rumah kehilangan fungsinya sebagai tempat jiwa pulang.

  • Rumah menjadi terminal sibuk, bukan tempat istirahat batin.
  • Percakapan digantikan notifikasi.
  • Pelukan digantikan emotikon.
  • Keintiman digantikan rutinitas.

Keluarga abad ini tidak boleh menyerah pada arus zaman. Kita perlu secara sadar membangun rumah sebagai tempat berlabuhnya jiwa, bukan sekadar lokasi fisik yang saling bertemu tanpa benar-benar hadir.

Dan itu dimulai dengan hal-hal sederhana: duduk bersama tanpa gawai, mendoakan anak sebelum tidur, menyapa pasangan di pagi hari bukan dengan “cepat”, tapi dengan “penuh perhatian.”


4. Jiwa Tidak Dapat Digerakkan dengan Tombol

Hari ini, kita bisa menyalakan lampu dengan suara, menyetel musik dengan perintah, bahkan mengganti suhu ruangan dari ponsel. Tapi satu hal yang tidak bisa dikendalikan oleh teknologi adalah: jiwa yang terluka dan rindu kasih.

Anak tidak hanya butuh ruang belajar digital. Ia butuh seseorang yang mendengarkan ketakutannya tanpa menghakimi.

Pasangan tidak hanya butuh partner logistik. Ia butuh sahabat jiwa yang hadir, melihatnya lebih dalam dari apa yang tampak.

Teknologi boleh membantu kita terhubung, tapi hanya cinta yang bisa menyembuhkan.


5. Spiritualitas Bukan Tambahan, Tapi Nafas

Di abad ini, banyak orang melihat spiritualitas sebagai pelengkap, bukan inti. Padahal dalam keluarga, spiritualitas bukan aktivitas tambahan, tapi nafas yang memberi hidup.

Doa keluarga bukan beban. Ia adalah momen untuk menata ulang ritme jiwa yang tercecer oleh dunia.

Makan malam bukan sekadar waktu mengisi perut, tapi kesempatan untuk mengisi batin dengan cerita dan tawa.

Pelukan bukan hanya rutinitas, tapi liturgi kasih yang memperkuat koneksi tanpa kata.

Dan ketika badai hidup datang—sakit, kehilangan, kegagalan—jiwa yang sudah dibiasakan dengan keheningan, doa, dan cinta, tidak mudah hancur. Ia lentur, tapi tidak patah. Ia terluka, tapi tetap percaya.


6. Penutup: Keluarga yang Memulihkan Dunia

Keluarga abad ini menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Tapi justru di situ letak kekuatan kita: untuk memilih tetap hadir, ketika dunia makin tidak hadir. Untuk memilih tetap mencinta, ketika dunia makin terburu-buru.

Karena rumah yang penuh kasih adalah sekolah pertama bagi generasi yang bijak. Karena anak yang dicintai sejak dalam rahim akan tumbuh menjadi manusia yang mencintai dunia dengan hati yang utuh.

Kita tidak harus menjadi keluarga sempurna. Tapi kita bisa menjadi keluarga yang terus hadir secara utuh, mencintai dengan sabar, dan memelihara jiwa dengan kasih yang tidak tergesa.

Dan dari keluarga seperti inilah, masa depan yang manusiawi akan lahir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *