
Kasih sebagai Alat Daur Ulang Jiwa: Refleksi Seorang Dokter Kandungan tentang Komunikasi Jiwa Ibu dan Janin
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Pendahuluan
Selama tiga dekade saya mendampingi para ibu dalam perjalanan kehamilan mereka, saya menyadari satu hal yang tidak pernah diajarkan dalam buku teks kedokteran: komunikasi jiwa antara ibu dan janin bukan mitos. Ia adalah kenyataan yang hidup di ruang batin, dalam keheningan malam, dalam desir doa, dalam rasa takut yang ditenangkan oleh harapan, dalam tangis yang dibungkus kasih.
Di tengah semua perangkat medis yang saya gunakan—USG, CTG, atau pemeriksaan hormonal—ada satu alat tak kasat mata yang tak kalah penting: kasih sebagai alat daur ulang jiwa. Di sinilah saya menemukan bahwa jiwa seorang ibu yang terkoneksi dengan Sang Sumber Kehidupan, mampu mendengar bisikan lembut dari jiwa kecil yang tumbuh di dalam rahimnya.
Jiwa Ibu: Ruang Pertama Komunikasi Kehidupan
Seorang ibu bukan hanya rahim yang memelihara janin. Ia adalah jiwa yang bertumbuh bersama kehidupan baru di dalam dirinya. Jiwa ini, jika tidak terhubung dengan Sumber Kehidupan—Allah, akan mudah goyah. Dunia memberi terlalu banyak informasi, dan tak semuanya selaras dengan kebutuhan jiwa. Seorang ibu yang terhubung dengan Tuhan tidak hanya menerima informasi, ia menyaring, menimbang, dan merasakan melalui intuisi—itulah komunikasi jiwa dengan janin yang sejati.
Saya pernah merawat seorang ibu muda yang menangis setiap malam. Bukan karena kontraksi, tapi karena ia merasa janinnya tidak tenang. Ia berkata, “Dok, saya tahu anak saya sedih… saya bisa merasakannya.” Saya tidak menertawakan. Justru saya diam dan mendengarkan. Dan saya paham, janin itu tidak menangis karena kondisi medis, tapi karena ibunya menyimpan luka yang belum sembuh. Jiwa sang janin ikut menyerap itu. Inilah bentuk komunikasi paling murni: jiwa yang bicara kepada jiwa.
Kasih sebagai Alat Daur Ulang Emosi Negatif
Selama kehamilan, banyak ibu mengalami amarah, takut, kecewa, bahkan dendam. Tapi jika ibu memilih untuk mengasihi—bukan karena perasaan, melainkan sebagai keputusan jiwa—maka kasih itu bekerja sebagai alat daur ulang emosi. Saya menyebutnya: “biokimia spiritual”. Ia tidak tercatat di hasil laboratorium, tapi hasilnya terasa pada detak jantung janin yang menjadi stabil, gerakan janin yang harmonis, dan perasaan damai dalam tubuh ibu.
Kasih mengalir seperti darah dalam tubuh. Ia menyucikan, mengalirkan energi positif, dan memperkuat jiwa. Seorang ibu yang mengasihi suaminya meski dalam konflik, yang memaafkan meski belum diberi permintaan maaf, sedang mendaur ulang racun batin menjadi nutrisi jiwa bagi bayinya. Janin belajar dari getaran kasih itu, bahkan sebelum ia bisa bicara.
Kata-Kata: Energi yang Menyentuh Jiwa Janin
Kata-kata yang diucapkan ibu, atau bahkan hanya dipikirkan, menyimpan energi. Saya pernah bertanya kepada seorang ibu: “Apa yang paling sering Ibu katakan dalam hati selama hamil?” Ia menjawab, “Saya takut tidak sanggup.” Maka tubuhnya pun sering melemah, janinnya pasif.
Sebaliknya, ibu yang setiap pagi berbicara pada janinnya, “Nak, kamu dicintai… kamu aman,” menunjukkan tanda-tanda kehamilan yang lebih tenang dan kuat. Kata-kata adalah getaran. Ia menembus batas tubuh, dan mengalir dalam jiwa, hingga pada jiwa janin.
Kasih dan Waktu: Menyadari yang Bisa Diatur adalah Fokus, Bukan Jam
Waktu dalam kehamilan terasa lambat dan cepat sekaligus. Tapi sejatinya, kita tidak memiliki waktu. Kita hanya memiliki fokus. Saat ibu memilih untuk memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang baik—doa, keheningan, zikir, pelukan suami, membaca ayat suci—maka jiwa janin menyerap frekuensi kasih itu.
Saya sering menyarankan ibu-ibu untuk membuat “ritual kasih harian”: satu waktu khusus setiap hari untuk menyapa janin, mendoakan, atau menyanyikan lagu sederhana. Ini bukan sekadar kebiasaan; ini praktik spiritual yang memperkuat komunikasi jiwa.
Penutup: Jiwa yang Hidup adalah Jiwa yang Mengalirkan Kasih
Jika jiwa tidak dialiri kasih, maka ia menjadi lemah. Ketakutan mudah datang, dan tubuh pun ikut terpengaruh. Tapi jika kasih mengalir, maka segala yang negatif—kemarahan, kecemasan, trauma—bisa didaur ulang menjadi energi baru, bahkan kebijaksanaan baru. Itulah mengapa saya percaya bahwa kasih adalah alat paling ampuh dalam komunikasi jiwa antara ibu dan janin.
Dalam kehamilan, kasih bukan hanya pelengkap. Ia adalah sistem imun jiwa. Ia adalah bahasa rahasia yang dimengerti oleh jiwa-jiwa kecil bahkan sebelum mereka membuka mata ke dunia.
Mari, bagi kita para ibu, ayah, bidan, dokter, perawat, pendamping, dan semua yang peduli terhadap kehidupan—kita tidak hanya merawat tubuh ibu dan janin, tapi juga merawat jiwanya. Dengan apa? Dengan kasih. Karena di dalam kasih, setiap kehidupan menemukan suara, arah, dan kekuatannya.
Salam jiwa yang terhubung,