Kecerdasan Hati dan Jiwa: Refleksi dr. Maximus Mujur, Sp.OG dalam Bimbingan Hidup Sehat Jakarta 2025
Jakarta, 28 September 2025 — Dalam kegiatan Bimbingan Hidup Sehat (BHS) yang diselenggarakan di Jakarta, dr. Maximus Mujur, Sp.OG memberikan refleksi mendalam mengenai hubungan antara ilmu kedokteran, jiwa manusia, dan kecerdasan hati.
Selama lebih dari tiga dekade berkecimpung sebagai dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dan menangani lebih dari 30.000 kehamilan, beliau mengajak peserta untuk meninjau kembali makna sejati dari kesehatan dan kehidupan manusia.
Manusia: Pencipta Ilmu, Bukan Korban Ilmu
Dalam awal paparannya, dr. Maximus menegaskan bahwa manusia seharusnya menjadi subjek dari ilmu, bukan objeknya.
“Manusia menciptakan ilmu, tapi kini manusia justru menjadi korban keterbatasan ilmu. Ilmu tidak salah, namun manusia sering berhenti pada rasionalitas dan melupakan jiwanya,” ujarnya.
Menurutnya, kemajuan teknologi dan cara berpikir modern telah membuat banyak orang hidup hanya dengan mendengarkan akalnya saja.
“Padahal manusia punya jiwa. Tuhan tidak ada di otak manusia, tetapi di hati,” tegasnya.
Jiwa, Insting, dan Kecerdasan Hati
Dengan gaya tutur yang reflektif dan sarat pengalaman spiritual, dr. Maximus menjelaskan bahwa setiap ciptaan Tuhan—tumbuhan, hewan, dan manusia—memiliki bentuk kecerdasan alami yang berasal dari jiwa.
Tumbuhan dan hewan hidup mengikuti insting, ekspresi jiwa yang menuntun mereka menjaga keseimbangan alam.
“Kita tidak pernah dengar sapi stres atau monyet depresi. Mereka taat pada instingnya, pada jiwanya. Tapi manusia kehilangan arah karena meninggalkan suara hati,” ujarnya.
Jatuh Cinta: Bahasa Jiwa yang Menghadirkan Kehidupan
Sebagai dokter kandungan, dr. Maximus menegaskan bahwa peristiwa kehamilan bukan hanya proses biologis, melainkan pertemuan antara jiwa dan tubuh yang dilandasi energi cinta.
“Ketika dua insan jatuh cinta, yang bekerja bukan otak, tetapi hati. Jatuh cinta adalah tindakan jiwa. Jiwa bayi berasal dari Tuhan, sedangkan tubuhnya dari orangtua. Yang menyatukan keduanya adalah energi cinta.”
Beliau mengibaratkan manusia seperti bendera merah putih:
“Jiwa dan tubuh harus dijahit oleh cinta. Kalau tidak dijahit, itu bukan manusia seutuhnya—hanya mayat.”
Kritik terhadap Rasionalitas yang Berlebihan
dr. Maximus juga mengkritik kecenderungan masyarakat modern yang menilai segala sesuatu hanya dari sisi logika dan bukti ilmiah.
Menurutnya, pendekatan medis sering kali mengabaikan keunikan jiwa setiap ibu dan janin.
“Setiap kehamilan itu unik karena setiap jiwa unik. Tapi ilmu kedokteran sering memaksakan semua harus sama—seperti mesin. Padahal jiwa tidak bisa diseragamkan.”
Beliau menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara teknologi dan kebijaksanaan hati.
“Kita berterima kasih pada teknologi, tapi jangan jadi objek dari teknologi. HP dan AI tidak salah, tapi jangan biarkan mereka yang mengatur cara kita berpikir dan mencinta.”
Komunikasi Jiwa Ibu dan Janin
Dalam riset yang sedang ia kembangkan tentang komunikasi jiwa antara ibu dan janin, dr. Maximus menemukan bahwa janin tidak hanya tumbuh secara fisik, tetapi juga berkomunikasi dengan ibunya melalui intuisi dan perasaan.
“Ibu-ibu yang hamil tahu ketika anak di dalam kandungan ingin sesuatu. Itu bukan kebetulan, tapi komunikasi jiwa. Anak berkata melalui rasa: ‘Ibu, dengarkan saya dan lakukan apa yang saya butuhkan.’”
Penutup: Kembali pada Kecerdasan Hati
Mengakhiri sesinya, dr. Maximus mengajak peserta untuk kembali hidup dengan kecerdasan hati, karena di sanalah sumber keseimbangan manusia.
“Kalau di kantor, gunakan otakmu. Tapi di rumah, gunakan hatimu. Karena di rumahlah cinta dan kehidupan bertumbuh.”
Kehadiran dr. Maximus Mujur, Sp.OG dalam kegiatan BHS Jakarta 2025 memberikan pesan yang kuat—bahwa kesehatan sejati bukan hanya tubuh yang sehat, tetapi juga jiwa yang damai dan hati yang penuh cinta.