
Kembali ke Jiwa: Menemukan Ulang Makna Hidup dalam Dunia yang Terlalu Rasional
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di tengah derasnya arus sains dan teknologi, manusia modern perlahan menjauh dari dirinya sendiri. Kehebatan analisis dan penemuan ilmiah seolah menjadikan tubuh manusia sekadar objek kajian — terpisah dari kesadaran, intuisi, dan jiwa yang sebenarnya menjadi sumber kehidupan itu sendiri. Padahal, di dalam setiap denyut kehidupan, manusia menyimpan sistem kesempurnaan yang tidak dapat ditiru oleh mesin secanggih apa pun.
Ngidam: Ketika Tubuh dan Jiwa Berbicara
Fenomena “ngidam” yang selama ini dianggap sekadar dorongan biologis ternyata memiliki makna spiritual yang dalam. Dalam banyak kebudayaan di Indonesia, ngidam bukan hanya soal makanan, tetapi juga keinginan untuk berdoa, berziarah, atau melakukan praktik religius tertentu. Di balik keinginan itu, tubuh seorang ibu sedang berkomunikasi dengan jiwanya — dan dengan jiwa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.
Pemahaman ini membuka ruang bagi penafsiran baru: bahwa setiap tanda tubuh — bahkan mual, lelah, atau lapar yang tidak biasa — bukan sekadar gejala medis yang harus dihilangkan. Ia adalah “panggilan”, semacam nada dering dari dalam diri, yang mengajak sang ibu untuk mendengarkan pesan kehidupan. Menekan gejala itu sama halnya dengan mematikan suara yang seharusnya didengar.
Tubuh sebagai Sistem Hidup yang Sempurna
Sains modern kerap menempatkan tubuh manusia sebagai sistem yang perlu diperbaiki dari luar — lewat obat, operasi, atau intervensi kimia. Namun, mekanisme alami seperti autofagi justru menunjukkan hal sebaliknya. Tubuh memiliki kemampuan untuk memperbarui, membersihkan, dan menyehatkan dirinya sendiri tanpa intervensi eksternal. Setiap sel yang mati atau rusak digantikan oleh sel baru melalui mekanisme alamiah yang luar biasa presisi.
Sistem ini menunjukkan bahwa manusia sebenarnya diciptakan dengan kelengkapan sempurna — sebagaimana hewan dan tumbuhan yang mampu mempertahankan keseimbangannya tanpa bantuan luar. Paradoksnya, justru manusia, makhluk paling cerdas di bumi, kini paling jauh dari dirinya sendiri karena terlalu bergantung pada sains dan teknologi yang ia ciptakan.
Antara Alam dan Jiwa
Dalam banyak budaya Nusantara, manusia selalu dipahami sebagai bagian dari alam, bukan penguasanya. Alam dan manusia hidup dalam satu kesadaran yang sama — kesadaran bahwa kehidupan adalah jejaring relasi yang penuh makna. Ketika manusia kehilangan koneksi itu, ia mulai kehilangan arah, menjadi rentan terhadap penyakit, stres, dan kehampaan spiritual.
“Back to nature” — kalimat yang sering kita dengar — sebenarnya belum cukup. Yang dibutuhkan bukan hanya kembali ke alam secara fisik, melainkan kembali ke jiwa. Kembali mendengarkan irama batin, intuisi, dan kebijaksanaan tubuh yang selama ini terabaikan. Karena di sanalah letak harmoni antara kehidupan biologis dan kehidupan spiritual manusia.
Sains, Budaya, dan Integrasi Jiwa
Ilmu pengetahuan dan kebudayaan seharusnya tidak saling meniadakan. Ketika keduanya terintegrasi, muncul pendekatan yang lebih holistik: manusia tidak hanya dipahami sebagai tubuh yang bisa diukur, tetapi juga sebagai jiwa yang hidup, merasa, dan berhubungan dengan kehidupan lain di sekitarnya. Dalam kerangka ini, kehamilan bukan sekadar peristiwa biologis, melainkan peristiwa spiritual yang melibatkan komunikasi antara dua jiwa — ibu dan anak — dalam keheningan rahim.
Integrasi ini menuntun pada pemahaman baru: bahwa kesehatan sejati tidak hanya tentang tidak adanya penyakit, melainkan tentang hadirnya kesadaran penuh akan kehidupan. Jiwa, tubuh, dan alam adalah satu sistem yang saling menghidupi.
Penutup: Kembali ke Jiwa
Ketika manusia mulai mendengarkan kembali tubuh dan jiwanya, ia sebenarnya sedang memulihkan hubungan paling purba antara dirinya dan Sang Pencipta. Di sanalah letak kebijaksanaan sejati — bukan pada teknologi yang meniru kehidupan, tetapi pada kesadaran yang menghormati kehidupan itu sendiri.
Manusia tidak perlu menjadi sempurna seperti mesin. Ia hanya perlu kembali menjadi makhluk yang hidup — yang merasakan, mendengar, dan menghormati bisikan jiwanya sendiri.

