Kembali ke Jiwa: Saat Sains Perlu Bertobat

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Dalam sejarah panjang manusia, sains telah memberi kita kekuatan luar biasa — dari penemuan listrik hingga terapi gen. Namun di balik semua keagungan intelektual itu, ada satu wilayah yang terus dihindari, bahkan ditakuti oleh sains modern: jiwa manusia.

Selama berabad-abad, sains dibangun di atas paradigma objektivitas material. Apa pun yang tak bisa diukur, tak bisa diulang, dan tak bisa dijelaskan secara matematis, dianggap “tidak ilmiah”. Maka, jiwa — yang bersifat halus, intuitif, dan penuh makna personal — tersingkir dari ruang laboratorium.
Namun, di sinilah kebuntuan terbesar sains dimulai.


1. Sains Tanpa Jiwa, Pengetahuan Tanpa Makna

Kita bisa mengukur detak jantung janin, memantau gelombang otak, bahkan memetakan genetiknya dengan presisi. Tetapi, bisakah sains menjelaskan mengapa seorang ibu tiba-tiba menangis karena merasa bayinya kesepian di rahimnya?
Bisakah sains menguraikan mengapa janin merespons doa ibunya dengan tenang, sementara bunyi bising kota tak membuatnya gelisah?

Di titik inilah, sains berhenti pada deskripsi — bukan pemahaman.
Sains bisa tahu bagaimana sesuatu terjadi, tapi tidak selalu tahu mengapa sesuatu bermakna.


2. Jiwa sebagai Pusat, Bukan Tambahan

Untuk melangkah ke masa depan yang lebih utuh, sains tidak perlu menolak jiwanya sendiri — ia hanya perlu bertobat dari kesombongan reduksionisme. Jiwa tidak bertentangan dengan sains; ia adalah fondasinya.
Tanpa kesadaran, tidak akan ada pengamat. Tanpa pengamat, tidak ada sains.

Jika kesadaran adalah asal mula seluruh pengalaman, maka semua ilmu pengetahuan seharusnya berpusat pada kesadaran itu sendiri.
Fisikawan kuantum seperti Schrödinger dan Heisenberg bahkan telah lama menyadari bahwa realitas fisik muncul dari tindakan kesadaran yang mengamati. Artinya, di jantung sains yang paling rasional pun, ada “roh pengamat” — jiwa ilmuwan itu sendiri.


3. Ilmu Baru: Epistemologi Jiwa

Untuk menjadikan jiwa sebagai sentral, sains harus membuka ruang bagi dimensi intuitif, spiritual, dan eksistensial dalam metode pengetahuannya.
Ini bukan berarti menolak eksperimen, tetapi melengkapinya dengan pengalaman batin.

Bayangkan sebuah paradigma baru:

  • Fisiologi berbicara dengan psikologi,
  • Psikologi berdialog dengan spiritualitas,
  • Dan spiritualitas memandu arah etika serta makna dari pengetahuan itu sendiri.

Dalam paradigma ini, seorang ilmuwan bukan hanya pengamat, tapi juga penziarah.
Ia tidak hanya mengukur kehidupan, tapi menghormatinya.


4. Dari Rahim: Ilmu Jiwa yang Hidup

Kehamilan adalah laboratorium spiritual pertama manusia.
Di sana, komunikasi jiwa antara ibu dan janin menjadi bukti nyata bahwa pengetahuan tidak selalu rasional.
Janin bukan sekadar kumpulan sel yang berkembang — ia adalah kesadaran yang sedang belajar mengenali kasih.
Dan ibu bukan sekadar wadah biologis — ia adalah saluran antara dunia roh dan dunia materi.

Jika sains berani menatap wilayah ini tanpa menolaknya, maka akan lahir sains yang berhati — ilmu yang tidak hanya mencari kebenaran, tetapi juga kebaikan dan kebijaksanaan.


Penutup: Jiwa Sebagai Kompas Peradaban

Peradaban masa depan tidak akan ditentukan oleh siapa yang paling cepat menemukan teknologi baru, tetapi oleh siapa yang paling dalam mengenali jiwanya sendiri.
Ketika sains kembali memeluk jiwa, maka pengetahuan akan menemukan rumahnya — bukan sekadar di kepala manusia, tapi di hatinya.

Sains yang berjiwa bukanlah kemunduran, melainkan evolusi kesadaran: dari pengetahuan yang kering menjadi pengetahuan yang hidup, yang menuntun kehidupan sejak di rahim hingga akhir keberadaan.