• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Kembalilah Menjadi Manusia Seutuhnya: Antara Jiwa, Nasi, dan Kecerdasan Hati

Kembalilah Menjadi Manusia Seutuhnya: Antara Jiwa, Nasi, dan Kecerdasan Hati

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Oleh: dr. Maximus Mujur, SpOG

Di zaman yang mengagungkan kecanggihan teknologi dan membanggakan kecerdasan otak, manusia perlahan mulai kehilangan dirinya sendiri. Ia bukan lagi makhluk utuh yang hidup dari kasih, tetapi menjadi obyek dalam sistem sains yang mempreteli eksistensinya menjadi sekadar tubuh, sekadar fungsi, sekadar data. Padahal, manusia bukan hanya otak, bukan sekadar tubuh yang diberi nasi. Manusia adalah jiwa yang diciptakan untuk hidup dalam kasih, di bawah terang Ilahi.

Saya ingin memulai tulisan ini dari sebuah skema sederhana, yang saya ibaratkan seperti bendera Indonesia. Merah—jiwa dan roh yang dibalut kasih. Putih—tubuh dan kebutuhan dasarnya, nasi. Dua warna, dua dunia, tetapi dalam satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.

Manusia dalam Dua Versi

Dunia saat ini memperlakukan manusia dalam dua versi: versi alam, dan versi ilmu.

  • Versi alam melihat manusia sebagai makhluk yang utuh, sebagai subjek yang unik, hadir dalam jaringan kehidupan semesta yang dipenuhi kasih. Dalam pandangan ini, manusia berjalan bersama tumbuhan dan hewan sebagai ciptaan Tuhan. Ia adalah anak Tuhan, diciptakan dari dan untuk cinta.
  • Versi ilmu, sebaliknya, menceraiberaikan manusia. Ia menjadi obyek yang dikaji, dipetakan, dan dikendalikan. Jiwa diabaikan, roh ditinggalkan, kasih dicurigai karena tak dapat dibuktikan dengan data. Dalam dunia ilmu, manusia adalah mesin yang butuh nasi untuk hidup, bukan kasih untuk menghidupi.

Padahal, dalam Injil, kita diajak kembali ke asal: manusia diciptakan oleh Tuhan, dalam alam, untuk hidup sebagai makhluk yang utuh—berjiwa, berkasih, dan berelasi.

Ketika Orang Tua Menjadi Pemilik

Krisis lain dalam dunia modern adalah perubahan relasi dasar: orang tua yang semestinya pengasuh, berubah menjadi pemilik. Anak bukan lagi subjek relasional, melainkan obyek proyek ambisi. Inilah mengapa banyak anak tumbuh menjadi “anak hantu”—bukan karena kerasukan, tetapi karena kehilangan kehangatan kasih dan kehadiran jiwa.

Padahal, orang tua sejatinya adalah perpanjangan kasih Tuhan, bukan sekadar penyedia materi. Ketika tubuh diberi nasi tetapi jiwanya lapar kasih, manusia kehilangan arah. Maka kita temui banyak anak yang pintar secara akademik, tetapi kosong secara batin.

Antara AI dan Hati yang Mati

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) adalah pencapaian besar manusia, tetapi juga tanda tanya besar bagi kemanusiaan. AI bekerja dengan kecerdasan otak: logis, cepat, efisien, tetapi tanpa kasih. Jika manusia hanya mengandalkan otak, maka perlahan ia akan menjadi bayang-bayang ciptaannya sendiri.

AI diciptakan oleh manusia, tetapi kini cara berpikir manusialah yang mulai meniru AI. Ketika perasaan dianggap lemah, kasih dianggap tidak ilmiah, dan relasi dianggap tidak produktif, maka dunia sedang melangkah menuju dekadensi spiritual. Inilah saatnya kita bertanya ulang: apakah kita masih manusia, atau telah menjadi robot yang berjalan dengan kulit manusia?

Jalan Pulang: Menghidupkan Kembali Kecerdasan Hati

Kita perlu kembali kepada kecerdasan hati—sebuah kecerdasan yang tidak hanya berdasarkan bukti, tetapi percaya. Kecerdasan ini menempatkan manusia sebagai subjek, bukan obyek. Hati percaya pada kasih, bukan sekadar data. Ia hidup dari relasi, bukan hanya dari transaksi.

Gereja dalam dokumen resminya telah memberi peringatan: AI tak bisa menggantikan cinta. AI tak bisa menggantikan jiwa. Dan cinta bukanlah hasil algoritma, melainkan buah dari keberadaan ilahi yang tinggal dalam diri manusia.

Penutup: Jadilah Jiwa yang Bertumbuh, Bukan Sekadar Badan yang Bernapas

Saudaraku, mari kita ingat kembali siapa diri kita. Kita bukan sekadar tubuh yang butuh nasi, tetapi jiwa yang hidup dari kasih. Kita bukan sekadar lulusan S1, S2, atau S3, tetapi makhluk yang dipanggil menjadi anak Tuhan. Kita bukan ciptaan ilmu, tetapi karya agung Sang Pencipta.

Maka berhentilah sejenak. Dengarkan hati. Rasakan kasih. Lihat ke dalam, bukan hanya ke layar. Dan temukan kembali kemanusiaanmu yang sejati: manusia yang utuh, yang percaya, yang mengasihi, dan yang tidak takut menjadi lemah—karena dari sanalah kekuatan sejati berasal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *