
Kesucian Sebagai Gerbang Komunikasi Jiwa Ibu dan Janin: Menyucikan Rumah Batin untuk Pertumbuhan Kehidupan
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam perjalanan kehamilan, seorang ibu sering mengalami perubahan batin yang mendalam—dari ketakutan menjadi penerimaan, dari kegelisahan menuju ketenangan, dari kelekatan duniawi menuju kesadaran akan kehidupan yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Dalam konteks ini, kesucian bukanlah sekadar konsep religius, melainkan sebuah getaran jiwa yang membuka gerbang komunikasi antara jiwa ibu dan jiwa janin.
Kesucian adalah keadaan ketika batin ibu menjadi jernih, tenang, dan terhubung dengan sumber kehidupan ilahi. Di titik ini, doa tidak lagi menjadi permintaan yang dipanjatkan ke langit, melainkan gema kasih yang mengalir dari jiwa ibu kepada janin yang sedang tumbuh. Seperti Maria yang menjadi simbol kesucian, kelembutan, dan perantara doa, seorang ibu pun dapat belajar untuk menghadirkan ruang suci dalam dirinya—tempat di mana doa, kasih, dan kehidupan bersatu.
Ketika seorang ibu “bersiarah” dalam makna batin, ia sedang melakukan perjalanan ke dalam dirinya sendiri—menyusuri lorong-lorong emosinya, menegakkan yang bengkok, meluruskan yang keliru, dan menyalakan kembali cahaya kasih yang mungkin sempat redup. Dalam keheningan itu, janin merasakan getaran ketulusan ibunya. Jiwa janin menyimak bukan dengan telinga, melainkan dengan cahaya hati. Ia belajar dari setiap getaran kasih, setiap doa yang keluar dari kedalaman batin ibunya.
Kesucian juga berarti menghadirkan rumah—baik rumah fisik maupun rumah batin—sebagai tempat perjumpaan. Rumah yang diisi dengan doa, rasa syukur, dan kasih sayang menjadi “KUB” (Kubur Umat Batin), tempat kehidupan rohani berziarah dan meneguhkan iman keluarga. Dalam rumah seperti ini, setiap langkah ibu, setiap hembusan napas, menjadi bentuk komunikasi spiritual dengan janin. Ibu tidak sekadar berbicara, melainkan menyampaikan kabar sukacita kepada kehidupan yang sedang tumbuh di dalam dirinya.
Ketika ibu merasa takut atau ragu, ia dapat belajar dari kelembutan doa Maria—bahwa kesucian tidak selalu berarti sempurna, tetapi berarti mau kembali, mau menyucikan diri, mau meneguhkan cinta. Janin, dalam kepekaan jiwanya yang halus, merasakan momen-momen ini. Ia belajar bahwa kehidupan dimulai dari cinta, bahwa doa adalah bentuk pelukan paling halus antara ibu dan anak yang belum lahir.
Kesucian, dalam konteks komunikasi jiwa ibu dan janin, bukan lagi perkara agama semata, melainkan getaran universal tentang kasih dan penyerahan diri. Ia adalah bahasa yang paling dalam, paling sunyi, namun paling didengar oleh jiwa yang baru tumbuh. Maka, sebagaimana seorang peziarah berjalan dalam iman, seorang ibu pun berjalan dalam kesucian—mengelilingi rumah batinnya sendiri, menyalakan lilin kasih, dan menyampaikan kabar sukacita kepada jiwa kecil yang tumbuh di rahimnya.
Dengan begitu, kehamilan menjadi lebih dari sekadar proses biologis. Ia menjadi perziarahan rohani, tempat di mana jiwa ibu dan jiwa janin saling mengenal, saling meneguhkan, dan bersama-sama belajar tentang arti sejati dari kesucian: menjadi saluran kasih Tuhan di dunia.

