• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Ketika Janin Berbicara Lewat Jiwa: Refleksi Seorang Dokter Kandungan

Ketika Janin Berbicara Lewat Jiwa: Refleksi Seorang Dokter Kandungan

image_pdfimage_print

Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Selama lebih dari tiga dekade saya mendampingi para ibu menjalani kehamilan dan persalinan, saya percaya satu hal yang tidak diajarkan secara eksplisit di bangku kuliah kedokteran: bahwa janin bukan sekadar kumpulan sel atau sekedar “calon bayi”. Janin adalah jiwa yang hidup. Ia hadir tidak hanya membawa denyut nadi, tapi juga membawa pesan. Pesan yang seringkali tak terucap, namun bisa dirasakan—jika sang ibu mau mendengarkannya dengan hati.

Saya telah menyaksikan begitu banyak wajah ibu yang bercahaya dalam kehamilan. Tapi saya juga melihat air mata yang menetes tanpa suara, perut yang mengeras bukan hanya karena kontraksi, melainkan karena pergulatan batin yang belum usai. Dan, saya menyadari bahwa janin menyerap semua itu. Ia mendengar, merasakan, bahkan merespons, meskipun belum mampu bicara.

Ada masa ketika seorang ibu muda datang dengan keluhan mual yang tak berkesudahan. Obat telah diberikan, diet disesuaikan, namun gejala tetap bertahan. Hingga suatu hari ia berkata, “Dok, saya merasa anak saya menolak makanan ini.” Ia berkata sambil menangis. Bukan karena sakit fisik, tapi karena ia merasa diabaikan oleh bayi yang belum ia kenal. Saat itulah saya mulai bertanya: mungkinkah ini bentuk komunikasi jiwa antara ibu dan janin?

Kini, saya percaya jawabannya: ya.

Janin bukan sekadar entitas biologis. Ia membawa keunikan jiwanya sejak dalam rahim. Ia bisa menolak ketika tubuh ibunya tidak ramah. Ia bisa “protes” melalui mual, muntah, pusing, bahkan ketenangan yang mencurigakan. Ia bisa menangis lewat air mata ibunya, bicara lewat emosinya, hadir lewat rasa-rasa halus yang sulit dijelaskan secara medis.

Maka saya mulai menyarankan pada para ibu: jangan hanya makan dengan benar, tapi dengarkan juga getaran dari dalam rahimmu. Dengarkan keinginan halus yang tak bisa disuarakan. Jangan abaikan intuisi. Jangan remehkan getaran kasih yang pelan namun pasti.

Ketika seorang ayah mengelus perut istrinya dan berkata, “Nak, kami mencintaimu,” saya menyaksikan denyut jantung janin melonjak. Saya melihat hubungan yang tak tertulis, tak terukur, namun begitu nyata. Saya menyebutnya: komunikasi jiwa.

Saya pun belajar dari janin. Mereka mengajarkan tentang keheningan yang berbicara, tentang kasih yang tidak meminta balasan, dan tentang kehadiran yang membawa harapan. Mereka datang dengan pesan dari sumber kasih, dititipkan pada pasangan yang dipilih bukan secara kebetulan, melainkan secara spiritual.

Saya ingin mengatakan ini kepada setiap ibu dan ayah: janinmu bukan beban. Ia adalah penyambung kasih yang telah kau jalin. Ia tidak ingin membuatmu menderita, tapi ia ingin didengar dan diterima. Ia tidak meminta kesempurnaan, hanya ketulusan.

Selama tiga puluh tahun ini saya menyaksikan bagaimana kehidupan terbentuk bukan hanya dari nutrisi, tetapi dari cinta. Bukan hanya dari genetik, tetapi dari getaran batin. Maka, jika suatu hari kamu merasa tubuhmu berbeda, emosimu naik turun, atau air matamu mengalir tanpa sebab, mungkin itu bukan semata hormon. Mungkin itu suara yang tak terucap dari jiwamu sendiri, atau dari jiwa kecil yang sedang bertumbuh dalam rahimmu.

Dengarkanlah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *