Ketika Sains Kehilangan Jiwa: Menemukan Kembali Bahasa Kehidupan yang Hilang
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Sains telah membawa manusia melangkah jauh — menciptakan teknologi canggih, mengurai rahasia genetik, bahkan memetakan otak hingga ke neuron terkecil. Namun di balik keberhasilan itu, muncul satu kekosongan yang kian terasa: jiwa manusia perlahan menghilang dari percakapan ilmiah tentang kehidupan.
1. Sains yang Melihat Tanpa Merasakan
Sains bekerja dengan pengamatan dan pembuktian. Ia hanya mengakui apa yang bisa diukur, ditimbang, dan diuji. Namun kehidupan — terutama kehidupan yang berdenyut di dalam rahim seorang ibu — tidak hanya bergerak di wilayah ukuran dan data.
Ada getaran lembut yang tak tertulis dalam tabel, ada keheningan batin yang tak terdeteksi oleh gelombang ultrasonografi.
Sains bisa memantau detak jantung janin, tapi tidak bisa menjelaskan mengapa janin tenang ketika ibunya berdzikir, berdoa, atau menangis rindu.
Sains bisa memetakan hormon endorfin dan kortisol, tapi tidak dapat menangkap makna cinta yang menenangkan janin sebelum ia mengenal bahasa.
2. Jiwa Sebagai Pengarah, Bukan Sekadar Penumpang
Kehidupan tidak pernah dimulai dari sekadar proses biologis. Setiap kehidupan dimulai dari panggilan jiwa — energi ilahi yang menuntun benih menjadi makhluk hidup. Dalam rahim, jiwa janin tidak diam; ia berkomunikasi, memanggil, bahkan menuntun ibunya untuk bertumbuh bersamanya.
Namun, ketika seluruh pendekatan kehamilan dan perkembangan manusia hanya dilihat dari kacamata biologi, jiwa dianggap penumpang, bukan pengarah.
Padahal, banyak kegagalan dalam tumbuh kembang manusia berakar dari ketidakpedulian terhadap dimensi ini:
jiwa ibu yang tertekan, janin yang tidak disapa, dan cinta yang tidak dihadirkan secara sadar dalam proses kehidupan.
Sains mampu menjaga janin tetap hidup — tetapi tidak selalu mampu menjamin ia tumbuh dalam ketenangan dan kasih.
3. Krisis Manusia Modern: Hidup Tanpa Arah Jiwa
Ketika manusia mulai percaya bahwa sains adalah satu-satunya kebenaran, arah kehidupan menjadi kabur.
Segalanya diukur dari efisiensi, kecepatan, dan hasil, bukan dari makna, kesadaran, dan kasih.
Kita melihat banyak orang sukses secara teknis, namun kehilangan arah hidup; banyak ibu melahirkan dengan fasilitas terbaik, namun hatinya kosong dan cemas; banyak anak tumbuh pintar, namun jiwanya rapuh.
Inilah paradoks zaman modern: pengetahuan bertambah, tapi kebijaksanaan menipis.
Kita menguasai tubuh, tapi kehilangan kendali atas batin.
Kita meneliti kehidupan, tapi lupa menghidupkan kehidupan itu sendiri.
4. Saatnya Sains Belajar dari Jiwa
Sains tidak harus dibuang. Ia tetap penting — sebagai alat untuk memahami dunia.
Namun ia perlu kembali tunduk kepada hikmat jiwa, sebab jiwa lah yang memberi arah pada pengetahuan.
Dalam konteks kehamilan, misalnya, sains perlu berjalan berdampingan dengan kesadaran batin:
memahami bahwa setiap detak jantung janin bukan sekadar sinyal biologis, tetapi jawaban dari komunikasi cinta antara dua jiwa — ibu dan anak.
Sains bisa mengajarkan bagaimana menjaga nutrisi, tapi jiwa mengajarkan bagaimana menyalurkan kasih.
Sains bisa menghitung usia kehamilan, tapi jiwa memahami waktu kedewasaan cinta antara ibu dan janinnya.
Sains bisa memprediksi kemungkinan hidup, tapi jiwa lah yang mengajarkan bagaimana hidup itu dijalani dengan makna.
5. Menuju Sintesis Baru: Ilmu dan Jiwa dalam Harmoni
Kita sedang memasuki masa di mana manusia haus akan kesatuan — kesatuan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara logika dan rasa.
Kehidupan manusia sejak dalam kandungan mestinya menjadi ruang sintesis itu:
tempat di mana ilmu pengetahuan menjaga tubuh, dan jiwa menuntun arah cinta.
Jika sains mau belajar mendengar, ia akan menemukan bahwa jiwa tidak bertentangan dengan logika — ia justru melengkapinya.
Jiwa memberi alasan bagi setiap hukum alam untuk bekerja dalam keharmonisan.
Dan mungkin, ketika sains akhirnya berani menatap ke kedalaman batin, ia akan menemukan wajah dirinya sendiri: sebuah ilmu yang lahir dari cinta kepada kehidupan.