Makanan Bernilai, Bukan Sekadar Bergizi: Setiap Jiwa Punya Kebutuhan yang Unik

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

1. Gizi Bersifat Umum, Nilai Bersifat Pribadi

Dalam dunia modern, istilah makanan bergizi sering diartikan sebagai makanan yang memenuhi standar ilmiah — kaya protein, vitamin, mineral, dan serat. Namun, ada hal yang sering terlupakan: standar gizi bersifat umum, sedangkan nilai makanan bersifat sangat pribadi.

Artinya, makanan yang disebut “bergizi” bisa jadi tidak bernilai bagi seseorang jika tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh, kondisi jiwa, atau getaran batinnya.
Sebaliknya, makanan yang sederhana, bahkan biasa saja menurut ilmu gizi, bisa menjadi sumber kekuatan dan ketenangan bagi individu tertentu — karena sejalan dengan keunikan tubuh dan jiwanya.

Maka benar jika dikatakan:

Makanan bernilai pasti bergizi, tetapi makanan bergizi belum tentu bernilai.


2. Tubuh Setiap Orang Tidak Sama

Tubuh manusia bukan mesin seragam yang diatur oleh formula gizi yang sama.
Ia adalah sistem cerdas yang menyimpan ingatan genetik, emosional, dan spiritual yang berbeda-beda pada setiap orang.
Maka, apa yang menyehatkan bagi satu orang bisa jadi membuat yang lain tidak nyaman.

Sebagai contoh:

  • Ada ibu yang merasa bugar ketika makan nasi merah, tapi ibu lain justru cepat lelah.
  • Ada yang tubuhnya tenang saat minum susu, tapi bagi sebagian orang susu menimbulkan gangguan pencernaan.
  • Ada yang tubuhnya ringan setelah makan buah, sementara yang lain perlu makanan hangat untuk menstabilkan energinya.

Ini menunjukkan bahwa tubuh tidak hanya berbicara lewat “angka gizi”, tetapi lewat bahasa rasa, sinyal kenyamanan, dan intuisi.
Setiap tubuh memiliki kearifan bawaan yang tahu apa yang cocok dan tidak bagi dirinya.


3. Nilai Makanan: Resonansi antara Jiwa dan Tubuh

Makanan bernilai tidak hanya mengisi perut, tetapi beresonansi dengan jiwa.
Ia memberi rasa tenang, syukur, dan hidup.
Ketika seseorang makan makanan yang “bernilai” bagi dirinya, tubuh dan jiwanya seperti berdialog — “inilah yang aku butuhkan.”

Nilai itu muncul dari tiga hal:

  1. Kecocokan alami tubuh (biologis)
    – makanan yang diserap dengan mudah dan memberi energi seimbang.
  2. Keharmonisan batin (emosional)
    – makanan yang membawa rasa nyaman, damai, dan tidak membuat gelisah.
  3. Kesadaran spiritual (jiwa)
    – makanan yang dipilih dan disantap dengan niat baik, doa, dan rasa syukur.

Ketika ketiga hal ini selaras, maka makanan menjadi sumber kehidupan sejati — bukan sekadar sumber kalori.


4. Dalam Kehamilan: Tubuh dan Jiwa Ibu Menyesuaikan Diri dengan Jiwa Janin

Dalam konteks kehamilan, konsep ini menjadi semakin dalam.
Tubuh ibu hamil tidak lagi hanya berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi juga mewakili suara jiwa janin di dalamnya.

Kadang, ibu tiba-tiba menginginkan makanan tertentu (ngidam).
Dari sudut pandang spiritual, itu bisa jadi bentuk komunikasi jiwa antara ibu dan janin.
Janin sedang “berbicara” melalui tubuh ibu, menyampaikan apa yang ia butuhkan untuk tumbuh dan berkembang — bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara energi dan kesadaran.

Misalnya:

  • Ibu mendadak ingin buah segar — tubuh janin sedang memerlukan keseimbangan air dan energi ringan.
  • Ibu tiba-tiba ingin makanan berkuah hangat — jiwa janin sedang mencari rasa aman dan kelembutan.
  • Ibu mendambakan aroma tertentu — mungkin janin sedang mengajarkan ibunya untuk lebih tenang dan hadir.

Dalam hal ini, makanan yang bernilai bagi ibu dan janin adalah makanan yang sesuai dengan pesan tubuh dan batin, bukan sekadar daftar gizi yang disarankan di tabel medis.


5. Nilai Tidak Bisa Diseragamkan

Ilmu gizi berusaha menyamaratakan kebutuhan manusia melalui angka dan standar, tetapi nilai tidak bisa diseragamkan.
Nilai makanan terletak pada makna, konteks, dan kesadaran yang melingkupinya.
Setiap manusia adalah sistem unik — ciptaan yang memiliki “bahasa tubuh” dan “frekuensi jiwa” masing-masing.

Maka, yang perlu dipelajari bukan hanya apa yang harus dimakan, tetapi juga bagaimana mendengar tubuh sendiri.
Ketika tubuh terasa ringan, napas tenang, pikiran jernih setelah makan, itu pertanda bahwa makanan tersebut bernilai bagi diri kita.


6. Penutup: Makan dengan Kesadaran, Hidup dengan Keutuhan

Makanan bernilai adalah makanan yang menghidupi, bukan sekadar mengenyangkan.
Ia adalah wujud dialog antara tubuh dan jiwa, antara ibu dan janin, antara manusia dan alam.

Setiap orang memiliki “peta nilai” sendiri terhadap makanan.
Dan ketika kita menghormati keunikan itu — bukan menyeragamkan dengan standar luar — kita sedang menghargai hikmah penciptaan di dalam diri.

Karena sejatinya, tubuh tidak hanya memerlukan gizi,
tetapi juga membutuhkan makna.
Dan makanan yang penuh makna adalah makanan yang bernilai bagi jiwa yang memakannya.